![]() |
dokpri. |
Tadi malam saya berbincang dengan sesepuh kampung kami. Kami tukar pikiran--saya yang muda dengan beliau yang sudah menikmati asam garam kehidupan. Tentu ada paradoks usia dan pengalaman di sini.
Namun saya tidak merasa minder, karena ini kesempatan saya belajar banyak hal dari beliau. Saya mencatat beberapa pernyataan dari beliau:
Berpolitik itu harus sehat
Salut juga saya dengan pola pikir beliau soal politik ini. Katanya, di pemilihan kades kemarin beliau berbeda pilihan dengan mayoritas di kampung. Sebagai tokoh tentu beliau berada di keadaan simakalama antara harus bijak dan menikmati hak politik.
Lantas bagaimana sikap beliau soal perbedaan pilihan ini?
Biasa saja. Beliau memang memilih satu calon tapi bukan berarti boleh menghina calon yang lain. Berpolitik tidak begitu, silahkan berbeda pilihan tapi untuk saling menghargai.
Ke rumah beliau sudah banyak timses datang. Sikap beliau ya menerima, urusan pilihan kembali ke hati nurani. Kita itu kadang aneh, kata beliau, hanya karena berbeda pilihan politik rela bermusuhan.
Bermusuhan terus dipelihara, apa sih untungnya? Masalahnya berbeda, ya sudah. Toh nanti yang terpilih itu bakal jadi pemimpin kita, siapa pun itu. Rela atau tidak, kita harus menerima. Harusnya dewasa menyikapi hal begini.
Kita butuh pemersatu
Di kampung sebelah, karena masjid di pimpin oleh tokoh masyarakat terjadi perpecahan. Tokoh masyarakat itu bersikap keras dan tegas dan kurang disukai oleh tokoh lain.
Sikapnya terkesan ingin menang sendiri. Tidak memberi ruang untuk saling tumbuh, berkembang dan merangkul. Terjadi perpecahan cukup sengit.
Beliau berkata, di kampung kita alhamdulillah. Beliau sebagai sesepuh berusaha untuk hadir menyatukan atas perbedaan di kampung. Misalnya soal acara maulid yang sebelumnya terpisah, tiap musola di kampung mengadakan. Namun beliau mengajak para tokoh untuk bersatu saja, merayakan maulid di masjid, tidak lagi masing-masing.
Begitu pula gesekan yang pernah terjadi antar tokoh di kampung, beliau berusaha untuk menyatukan. Bagi beliau, kita boleh membenci sikap buruk orang tapi kita jangan membenci orangnya. Di sini perlu kita dewasa, membenci itu perlu batas.
Saya setuju banget. Guru saya di sekolah dulu pernah mengajarkan begitu. Dalam islam kita dibolehkan membenci orang lain. Membenci sikap buruknya bukan orangnya. Artinya, kita benci sikap itu bukan fisiknya.
Pemimpin itu memberi teladan bukan kemarahan
Pemimpin itu harus memberi keputusan. Itu wewenangnya. Namun bukan berarti demi mencapai tujuannya membenarkan apa saja. Boleh marah tanpa pertimbangan.
Sebagai pemimpin kita perlu memberi contoh. Misalnya dulu, di kampung kita untuk mendapat kas mengadakan gotong royong untuk pembangunan. Gotong royong itu menggarap sawah. Singkat kata, setelah beres digarap ada salah satu orang kampung sebelah minta digarap juga sawahnya.
Terjadi masalah di sini, karena sebagian warga sudah pulang dan tersisa masih menggarap. Maka untuk menginisiasi uang sebagian itu dibelikan makanan dan rokok. Untuk apa? Agar yang sebagian masih menggarap itu merasa diperhatikan dan tidak terjadi kecemburuan sosial.
Akhirnya apa? Yang masih kerja bersyukur karena diperhatikan dan yang pulang duluan merasa menyesal karena tidak dapat makanan itu. Nah, di sini perlu sikap bijak pemimpin dan kearifan. Begitu pula dalam sikap lainnya
Kesimpulan
Tukar pikiran itu bukan melihat siapa yang paling tahu tapi sama-sama mencari pengetahuan dari rasa tahu itu. Tentu di sini tidak dituliskan semuanya. Selain karena demi efektivitas juga kepadatan maksud. Wallahu'alam. (**)
Pandeglang, 29 Juli 2025 23.35
0 Komentar
Menyapa Penulis