Menatap Sinarmu di Kejauhan

Selama ini aku masih di sini, menikmati parasmu untuk sesekali meraba hatiku apa masih ada di jiwa. Aku takut ia pergi dan copot oleh ketidakpastian. Aku takut ia berhenti, dan melihatmu tak ada kesempatan lagi.

Mungkin kamu bertanya, kenapa tak berani menyapa. Bukankah dengan begitu menyatukan hati yang patah, menyamakan rasa yang resah atau mengobati gundah di dada.

Aku paham itu, karena rasa butuh aksi nyata. Tapi maaf, aku memilih terjaga dan diam. Mendiamkan yang ada atas gejolak di jiwa. Memadamkan sebisa yang mampu dijaga.

Bukan karena tak berani, karena berani tak menjamin bisa meminangmu. Bukan tak mau, aku menyadari ada yang harus ku selesaikan. Tugas masih tergendong di punggung, memilikimu saat ini hanya jadi pelampisaan rasa sepi dan akan pergi saatnya nanti.

Selalu kuharap memiliki seutuhnya dirimu tak ada embel-embelnya lagi. MAKA, aku menunggu momen itu. Kita memadu cinta. Tanpa ragu menata jiwa yang masih khilaf. 

Tak apa hari ini diam sampai waktunya nanti aku akan melangkah dan berbicara. Sekarang biarkan aku diam menatap sinarmu. Aku rasa, itu lebih aman dari fitnah yang terus mengintai kita. Semoga kamu tetap bahagia, di sana. (*)

Pandeglang |  4 November 2021

Posting Komentar

0 Komentar