Kesan Setelah Acara Bedah Novel Dilan

    Foto: Dokumen pribadi

Antara yakin dan takut, apalagi dengan sakit di sekujur tubuh menjelang dua hari sebelum acara, cukup menyiksa dan menyita waktu. Belum lagi ketakutan dengan demam panggung. 

Pertanyaannya: gimana ini? Apa mundur aja? Tapi, hmm, gak punya tantangan dong? Daripada bikin malu, hayoo, tetap nekat?

Sebagian diri saya menakuti, kalau-kalau itu akan merusak citra yang saya bangun. Simalakama. Tapi pamflet sudah disebar, mau tidak mau, tak ada pilihan lain, harus dihadapi.

Dan ternyata, tak sehoror yang dibayangkan.


Pertama datang, terlihat suasana terasa sunyi. Ketemu Osis diajak silaturahim ke dewan guru, dan hanya ada satu orang. Haha.


Itupun lagi sibuk mengetik. Ya sudah, salaman dan basa-basi langsung capcus ke luar. Di luar, nunggu acara di mulai. Dengan panas membakar, jaket sengaja tidak di lepas. Melihat jam tangan, acara sebentar lagi di mulai.

Tak lama, ada pengurus Osis memanggil untuk langsung ke ruang acara. Di sini, di sambut hangat sebagian pengurus dan siswa yang hadir.

Tak lama, setelah Ketua Osis hadir, barulah dilaksanakan. Karena dia sebagai moderator acaranya. Meski acara sedikit karet, saya maklumi. Namanya proses belajar ya. 

Dari pembukaan sampai akhir acara tak ada hal urgent yang alami. Ada sesekali rasa cemas tapi berhasil dihadapi.


Dari apa yang saya lihat, memang ada hal yang perlu untuk disorot demi pembenahan.

Pertama, antusiasme peserta acara kurang greget. Respon ini membuat saya bingung, harus bagaimana dan gimana. Sudah diberi joki-joki, tetap saya menatap seolah tanpa ruh. Lama-lama saya takut, takut kena guna-guna. Hahaha.

Kedua, manajemen waktu kurang maksimal. Pada jadinya kurang tertata dan terjadwal. Dari awal semua terlihat kurang, untuk ke depan hal demikian jangan terulang.

Ketiga, moderator terlalu aktif. Apa ini baik? Baik tentu saja, tapi tetap dalam acara publik kita harus bisa melihat respons dari audiens, bagaimanapun merekalah sesungguhnya yang akan menyerap kata dan ilmu si pembicara. Menempatkan sesuatu pada tempatnya, itu lebih tepat. Sewajarnya saja.

Keempat, kurang kepedulian dewan guru. Pekan Literasi itu bagus, bagus sekali. Untuk memantik siswa agar melek membaca dan aktif belajar.

Guru sebagai elemen penting sekolah, seharusnya bisa hadir. Tak selalu harus tiap acara, tapi setidaknya di waktu tertentu. Siswa tetap harus diberi bimbingan agar tetap percaya diri dan termotivasi.

Mendengar laporan dari pengurus Osis, kebayanyakan mereka banting tulang membuat acara. Tentu saja ini paradoks. Segala sesuatu tanpa kerja sama itu sulit. Sedang Osis, hanya elemen baru mencium roda peradaban. Lagi-lagi, uluran tangan juga pendampingan mutlak diperlukan. 

Terlepas dari itu, saya mengapresiasi usaha keras Osis dan kekompakkan yang ditanmpilkan. Itu awal dari sebuah langkah baik. 

Untuk audiens pun, cukup baik. Meski terlihat "terpaksa", semoga dapat karunia akan waktu yang telah mereka luangkan. 

Semoga Osis Al-Falah Karang Tanjung makin baik dan tertata lagi, sehingga bisa membuat acara-acara yang lebih bagus sehingga berefek pada kualitas siswanya. Jaya terus MAS Al-Falah!

Saya kira itu untuk evaluasi ke depan. Khususnya untuk diri saya sendiri. Salam santun semua. (*)

Pandeglang |   20 November 2021

Posting Komentar

0 Komentar