BLT Korona Terus digelontorkan, Masihkah Efektif?

Ilustrasi foto syarat UMKM Corona

Sampai saat ini pemerintah terus menggelontorkan dana tak sedikit untuk rakyat. Dana itu dibagikan kepada lintas profesi sebagai bentuk kepedulian negara. Dengan syarat dan ketentuan pastinya.

Kemudian berbondong-bondong masyarakat mengajukan dengan syarat tersebut. UMKM misalnya sebagai bantuan kepada elemen pengusaha. 

Tetapi di lapangan banyak disalahgunakan. Ada yang bukan pengusaha mengajukan lalu cair. Ada yang pengusaha terus berkali-kali mengajukan, naas... gagal lagi-gagal lagi. Ada juga pengusaha yang cair tapi bantuan tersebut tidak dialokasikan untuk hal yang diharapkan negara.

Kenyataan ini menohok kesadaran kita, kenapa bisa begini?

Tahu atau tidak, percaya atau tidak praktek di lapangan lebih kritis lagi betapa bantuan ini kurang meresap untuk mengurangi "angka kesulitan" di tengah cekikan kebutuhan hidup.

Tak jarang sedikit orang menjadikan bantuan negara sebagai ajang mengeruk puing rupiah terbanyak. Ditambah dengan oknum berdasi yang banyak dan belum terekspos media. Kalau pun ada, hanya permukaannya sedangkan kedalaman problem tak mampu disunat.

Banyak yang tahu tapi diam. Kenapa? Karena resiko yang ditanggung berat. Memilih diam itu baik daripada berurusan dengan kenyataan hukum yang kadang bikin gigit jari.

BLT sendiri tiruan dari kebijakan sosial di masa Pak SBY. Pernah disorot media karena ada di satu daerah penerima BLT ini orang sehat dan rentetan emas terkalung di lenganny. Di sisi lain banyak yang papa lagi sepuh ikut mengantri juga tak mendapatkan apa-apa. 

Lantas Pak Jokowi mengikuti kebijakan ini di momen korona yang di tahun kemarin tengah menggila. Tak ada yang baru sebenarnya. Justru jadi sorotan kenapa harus BLT: yang bermanfaat bagi yang dapat, terus bagi yang belum atau tidak dapat?

Kekagetan saat Menteri Sosial kabita mengkorup dana itu, tak lama diciduk KPK. Tentu saja ini kenyatataan miris di tengah gaji menteri yang jauh dari gaji UMR di wilayah Pandeglang, kurang apa lagi? Belum lagi ngomongin tunjangan manis lainnya.

Untuk itu, perlu kiranya bantuan-bantauan yang ada ini ditunjang lebih dalam agar tidak menimbulkan paradoks di lapangan. Jangan sampai juga pasca korona hanyut dan pergi harga BBM, sembako, listrik dan lainnya makin menggila.

Alasannya karena diskon di masa korona dan beban lain yang tak terduga. Jadinya, lagi rakyat kena imbasnya. Sedangkan yang buat kebijakan siapa dan menyetujui siapa.

Hemat saya dan ini sering saya tulis di media, bagaimana kalau gontoran dana BLT ragam profesi atau apa itu di alokasikan pada harga pasaran untuk ditekan dan kebutuhan esensi warga. Proyeknya dituju pada seluruh lapisan masyakarat bukan hanya segelintir orang dapat.

Jangan sampai ini jadi ladang bisnis sehingga pasca selesai berbagai program dan kebijakan vital mangkrak. Ujungnya, KPK menangkapi dalang di balik jerit rakyat. Bagus sih, akan tetapi terus begitu ke mana marwah elit bangsa?

Pembicaran dan usaha baik harus terus kita lakukan. Kita ingin mandiri baik rakyatnya dan lurus pemegang kebijakannya, siapapun orangnya. Hukum bukan jadi alat menakuti siapa yang kritis tapi wadah untuk memperbaiki.

Bagaimanapun kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan ialah proses usaha tiada akhir. Bukan hanya ramai dibicarakan menjelang Pilpres atau acara politik belaka. Setelahnya jadi life service. 

Semoga elit bangsa, abadinya, bisa tahu dan mendengar suara hati rakyat serta masyarakat sadar apa saja kewajibannya. Tidak terus menghamba pada pemberian tetapi terus mengandalkan usahanya.

Seperti kata ucapan John F. Keneddy, "Jangan tanya apa yang negara berikan padamu, tanyakanlah apa yang sudah kamu berikan pada negara."

Sederhana tapi menusuk jiwa. Pastinya harus kita gali. Tugas membenahi bangsa hakikatnya tugas kita, utamanya mereka yang digaji negara. Untuk itu, mari kita lakukan sebisa kita sesuai wewenang yang kita miliki dan mampu. 

Sampai di sini, ada pertanyaan? Maaf, hanya bercanda. Haha. Jaya-makmur selalu negeri tercinta. (*)

Pandeglang |  5 Desember 2021

Posting Komentar

0 Komentar