Membicarakan Jodoh, Ini Wajib Kamu Catat dan Pahami

Sumber foto: internet

Jodoh itu sesuatu yang gaib. Kalau istilah allahu yarham KH. Zainudin MZ katanya mistic problem. Sesuatu yang tak teraba, akan tetapi ada dan terasa. 

Jamak kita mengenal sabda nabi bahwa jodoh, rizki, dan mati telah dicatat indah oleh pena di Arasy sana. Padahal yang benar, tidak hanya tiga itu saja semua yang melekat dan terjadi di dunia dari dulu sampai sekarang pasti telah tercatat dalam tempat yang Allah Maha Tahu karenanya. Tiga itu hanya garis besar, sedangkan dalamannya amat banyak.

Singkatnya, tiap orang sudah punya jodoh. Siapa dan di mana orangnya, lagi-lagi hanya Allah yang tahu. Dalam teori Sunni kita hanya ditekankan untuk ikhtiar semampu kita. Sekalipun sudah ada, ikhtiar bisa menambah nilai dari usaha tersebut.

Ada beberapa hal anjuran perlu dilakukan agar kita tidak salah memilih jodoh, di antaranya:

1. Restu Orangtua

Orangtua itu sosok yang tahu kita karena sedari kecil merawat dan mendidik sepenuh hati. Tak sedikit hal dikorbankan untuk anaknya. Banyak hal yang ia ketahui dari anaknya. 

Untuk itu wajar sekali kebanyakan orangtua selalu kepo. Di matanya kita bayi besarnya yang kemarin baru dilahirkan, protec tak henti terus dilakukan. Tak jarang buat kita jemu, bagi kita itu over. Tanpa kita sadari kelak pun kita akan demikian, betapa rasa sayang teramat besar melupakan segalanya.

Apalagi dalam hal jodoh, jangan pernah berpikir untuk tidak memberitahunya. Restunya segalanya. Terlepas setuju atau tidak kita perlu dengarkan suara hatinya. Getar suara pengalamannya. Jangan sampai cinta dan hormatmu pupus gara-gara satu orang yang baru hadir dalam harimu. Entah tulus atau tidak belum teruji, tetapi otangtua itu sosok yang Allah sendiri memujinya. Ada bukti dan fakta bukan sekedar letupan emosi.

Sederhanakan persoalan: kalau setuju, ya lanjutkan. Kalau tidak, jangan diambil pusing terima kenyataan itu. Betapa banyak kasus runyamnya hubungan rumah tangga ambyar karena restu, memang tidak menutup kenyataan terlalu orangtua ikut campur menimbulkan problema akut di masyarakat. 

Persentase justru membuktikan menjalani hubungan tanpa restu lebih banyak menjadi pintu konflik keluarga. Untuk cari aman silakan pilih, karena pernikahan pintu awal menuju peradaban kemanusiaan. Belajar dari kasus yang ada agar tidak tersesat di lembah yang sama.

2. Kufu'/kafa'ah

Islam mengajarkan kita untuk tahu diri karena dengan tahu kita sadar siapa kita dan kondisi kita. Inilah penjelasan terkait kepribadian. Secara sederhana kufu itu setingkat atau sederajat. 

Tak hanya dalam profesi; baik sikap, keilmuan maupun tindakan. Itulah kenapa rata-rata anak Kiyai dinikahkan dengan anak kiyai lagi atau paling banter dengan santri. Tentu bukan sekedar primordial atau apalah istilahnya, sederhananya agar mudah saling memahami. Memudahkan langkah ke depan nantinya.

Kita bayangkan misalnya kalau santri tulen menikahi artis glamour nan hedonis, apa jadinya nanti. Meski harus dicatat, ini bukan wajib hanya anjuran agar tujuan nikah tercapai nantinya. Meminimalisir konflik begitu istilah pengamat sosial.

Hal ini pernah terjadi di jaman nabi saat menikahkan Zaid bin Haritsah dengan Zainab. Zaid itu mantan seorang budak sedangkan Zainab kaum ningrat. Tak ayal dirundung konflik berujung percerian.

Pada akhirnya janda Zainab dinikahi nabi dan ini sempat menimbulkan kehebohan. Karena status Zaid putra angkat nabi maka menikahi Zainab sama saja menikahi menantunya, begitu pikir masyakrakat. Sehingga turunlah wahyu menjelaskan bahwa nabi itu bukan bapak "sebagian orang" tetapi rasul Allah dan penutup para nabi. Sejarah mencatat menikah dengan nabi merasa nyaman dan awet sampai ajal menjemputnya.

3. MERANCANG MISI DAN VISI

Perlukah ini? Tentu saja. Menikah itu seumpama menaiki perahu di samudra luas. Kita yang ada di bahtera harus punya tujuan, akan ke mana dan apa tujuannya. 

Bayangkan kalau kamu berjalan tanpa tujuan, apa itu mengenakan?

Mungin iya untuk waktu permulaan, lama-lama yang ada jenuh dan kesal. Begitupula dalam bahtera rumah tangga tanpa tujuan dan misi jelas ya bak perahu terombang-ambing di lautan lepas.

Padahal jelas Allah katakan dalam ayat suci bahwa Allah menciptakan hamba-Nya tak lain untuk ibadah atau menghamba pada-Nya. Kurang ajar sekali kita menikmati segala anugerah-Nya, di sisi lain tak peduli dengan kasih sayang-Nya. Lancang sekali, bukan?

Untuk itu, perlu kiranya kamu tanyakan pada dirimu, selain mengikuti sunah nabi-Nya: apa visi dan misi kamu menikah?

Silakan cari dan renungkan. Karena perjalanan yang baik saat kita tahu tujuan, bekal cukup, dan bersama orang yang tepat. 

Jangan sedih kalau mungkin ada pembaca belum menemukan belahan hatinya, tetap sabar dan terus ikhtiar. Mungkin saja dia tengah tersesat, bantu dengan doa dan memberi cahaya di kegelapan harapnya.

Jodohmu itu yang cocok dengan karaktermu dan memahami keadaanmu. Tak peduli ocehan negatif orang. Dia tengah menunggu momen, yakin dan terus percaya diri.

Lagian nih, jodohkan sudah ditentukan. Tak peduli usia, profesi, dan keadaan. Setiap orang akan mencapai kebahagiaan di masanya. 

Bagi yang sudah menikah, hiasi harimu dengan warna cinta dan upaya melahirkan kenyamanan. Bagi yang belum, terus berdoa-ikhtiar dan jangan lupa tetap semangat menatap hari dengan ceria. Selebihnya, wallahu a'lam. (*)

Pandeglang  |  6 Desember 2021

Posting Komentar

0 Komentar