Resesi Seks: Islam Memandang, Takut Menikah dan Fenomena Tidak Mau Punya Keturunan

Gambar diambil di internet

Dunia kembali dikejutkan dengan fenoman baru. Bagaimana minat orang terhadap dunia percintaan menurun drastis. Jangankan punya buah hati, menuju proses itupun pada takut. Betapa korona begitu sadis memukul dan menutup harap penduduk dunia.

Resesi Seks begitu media menyebutnya. Sebuah istilah yang biasanya disematkan pada ruang ekonomi, ya bidang ekonomi. Tapi kini, mengular pada bidang seksual. Lucu sekaligus miris. Betapa istilah sekarang jadi rancu. Entah bagaimana ke depan. Akankah berdampak negatif atau sebaliknya.

Resesi sendiri secara sederhana berarti kemerosotan. Resesi Seks bisa kita pahami kemerosotan minta warga dunia pada hal seksual. Kemajuan iptek diguncang korona banyak terkapar. Tercatat Singapura, Korsel, Jepang, China sampai Amerika terkena imbas resesi ini.

Dikutip dari situs berita CNBC Indonesia mengabarkan bahwa dalam sebuah penelitian terbaru Institute for Family Studies (IFS), jumlah anak muda Negeri Paman Sam yang tidak berhubungan seks meningkat lebih dari dua kali lipat. Dari 8% menjadi 21%.

"Lebih banyak perempuan dari sebelumnya antara 18 dan 35 dilaporkan tidak berhubungan seks dalam satu tahun terakhir, dan 'ketidakbersamaan' telah meningkat terutama di antara mereka yang taat beragama," menurut penelitian tersebut, dikutip dari Daily Mail, Senin (6/12/2021).

Para ilmuwan menyebut ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini seperti faktor ekonomi dan psikologis. Selain itu, ada juga faktor lain yang cukup signifikan yang mempengaruhi perilaku ini yakni kekhawatiran moral, utamanya dalam melakukan seks pra-nikah.

"Sebagian besar peningkatan ketidakberdayaan didorong oleh orang-orang yang memiliki kekhawatiran moral tentang seks pranikah," tulis penelitian itu.

Penurunan ini sendiri sebenarnya telah terjadi selama lebih dari satu dekade. Tetapi hal ini semakin diperparah dengan pandemi virus corona dan penguncian yang datang sebagai akibatnya.

"Sejak 2010, telah terjadi peningkatan tajam dalam jumlah pria dan wanita berusia 18 hingga 35 tahun yang melaporkan tidak berhubungan seks pada tahun sebelumnya," rekan peneliti IFS Lyman Stone melaporkan dalam temuan tersebut.

Sebelumnya, merosotnya angka kelahiran juga terjadi di China. Di tahun 2020, Negeri Tirai Bambu itu bahkan mencatatkan angka kelahiran terendah dalam 43 tahun terakhir.

Keengganan muda-mudi China untuk menikah dan memiliki keluarga menjadi motor penurunan ini. Di China angka kelahiran sangat erat kaitannya dengan pernikahan, jarang sekali anak di luar pernikahan tercatat.

Sementara itu, India juga mengalami hal yang sama. Ini terkuak dari tingkat kesuburan dan Total Fertility Rate (TFR) negara itu yang dalam kondisi menurun.

Menyaksikan fenomena ini kita bertanya: ada apa lagi dunia yang sudah tua ini?

Bukankah negara yang tengah terkena resesi ini biasanya paling vokal membela kebebasan seks dan bahkan menentang keras praktek 'seks sehat ala Islam' menuduhnya dengan mencemooh yang buat bulu kuduk naik.

Tentu saja, ini jadi perhatian kita. Betapapun digdaya manusia kalau terus mengikuti hawa nafsu serta melalaikan pesan suci Kalam Ilahi akan berkahir menyedihkan.

"Laa tusrifu," firman  Allah, "Innallaha laa yuhibbul musrifiin." Janganlah berlebihan karena Allah tidak suka dengan sesuatu yang berlebihan.

Seks ialah kebutuhan manusia. Setiap manusia telah Allah beri syahwat kepadanya. Tidak ada masalah. Islam memahami kodrat kemanusiaan. 

Akan tetapi Islam tidak serta membolehkan dan memebaskan tanpa syarat macam negara yang kini tengah melegalkan free sex tersebut. Islam dengan penuh adab memberi syarat dan mekanisme bagaimana seharusnya agar tidak beresiko. 

Pintu pernikahan dibuka seluasnya. Tak hanya itu, poligami pun diberi dibuka. Bukan untuk disalahgunakan, tetapi dibuka bagi mereka yang mampu secara moral, materi, adil, dan ilmu cukup. Kalau tak bisa, fawahidatan: satu cukup.

Dari sana akan lahir generasi jelas siapa dan bagaimana. Sehat dan pasti menyehatkan. Krisis bisa terkontrol. Selain agama mengatur moral, budaya membantu agar tetap beradab di jalan yang arif secara lokal dan sosial. Sebuah cita-cita luhur.

Menyaksikan ini sepantasnya memahami bahwa sesungguhnya 'aturan' itu penting. Korea Selatan dulunya tegas menindak pelaku zina dan serong, tak peduli siapa mereka.

Akan tetapi, saat Mahkamah Agung mencabut aturan tersebut entah bagamana kebebasan hanya melahirkan problem baru. Kita bisa lihat, betapa ingin menggenjot angka kelahiran sampai negara membuka bonus menarik: mulai dari gaji, tunjangan, upaya perjodahan masal dan lainnya.

Hal ini jauh dengan realitas kehidupan sosial kita yang atas rahmat Allah angka pernikahan makin tinggi, kelahiran menggembirakan, dan minta pada seksual amat tinggi. Sampai ada yang lalai dengan moral melakukan hal itu menerajang hukum agama, negara, dan etika berbangsa. Prostitusi, seks pelajar, pelakor-pebinor hingga maraknya video porno jadi sarapan mengerikan di tengan jamaknya pengajin di mana-mana.

Lagi-lagi harus cepat menyadari gejala sosial ini. Jangan sampai kita terkena syndrom resesi seks yang jauh mengerikan. Negara harus hadir dengan gebrakan baru dengan kebijakan peka terhadap isu dunia. 

Jangan sampai ada yang lelah dengan urusan birokrasi yang njlimet, memilih jalur salah. MBA jadi pilihan. Naudzubillah. 

Oh ya, MBA itu singkatan dari Married By Accident atau menikah karena kecelakaan. Lepas rudal duluan tanpa mau menunggu akad diucapkan. Fenomena ini marak sekali dan sudah masuk ke pelosok desa. Pada akhirnya anak yang masih suci jadi korban luapan nafsu sesaat orangtuanya.

Dengan demikian kita harus berusaha membentengi kenyataan pilu ini agar generasi muda selamat dari virus omes juga penduduk dari ancaman mengerikan dari fenomena kebebasan yang merenggut hakikat kemanusiaan kita.

Kembali pada aturan moral sehat dan memegang buhul agama dengan pemahaman baik lagi benar ialah opsinya. Semoga negeri tercinta terjaga dan kita bisa menebar nilai tentram ke lubuk hati manusia. Keep waspada! Wallahu a'lam. [ Di ambil dari berbagai sumber]

Pandeglang |  7 Desember 2021

Posting Komentar

0 Komentar