Wasiat Dorce Makin Memanas

Ilustrasi Perdebatan Dorce dan Buya Yahya (Pikiran Rakyat.Com)


Sampai kini, kabar terkait "wasiat" dari selebriti tersohor itu masih menjadi bola panas di realitas publik indonesia. Suara pro-kontra menyeruak ke permukaan.

Permintaanya, yang berharap pasca pupus nanti di kebumikan di tempat kaum wanita masih disorot kalangan.

Setidaknya, ada tiga tanggapan mengemuka: Pertama, Majlis Ulama Indonesia; kedua Buya Yahya, dan ketiga Gus Miftah. Terakhir, satu suara kontra dari ustadzah yang---lupa namanya siapa.

Ketiganya sepakat, bahwa 'keinginan' yang diutarakkan oleh Dorce Gamalama tidak berdasarkn hukum yang dianut agamanya. Jelas tak boleh diperturutkan, apalagi tanpa dalil syar'i.

Baca Juga : Ulasan Tentang Ustadz Media dan Layar Kaca 

Aturan yang ada, secara gamblang menyebutkan bahwa sepantasnya seseorang dikuburkan sesuai jenis kelamin dia lahirkan.

Sudah jelas, tak harus ada perdebatan lagi. Sepertinya, ini telah masuk ranah kesepakatan ulama.

Suara kontra muncul dari ustadzah yang berharap 'meloloskan' inginnya dari artis itu, , mungkin dengan dalil maupun argumen dipegang juga pahaminya.

Hanya saja, menilik suara yang mengemuka pendapat pertama akan banyak didengarkan. Selain suara itu mayoritas, terlebih logis bagi seorang muslim yang taat pada Tuhan-Nya.

Ada memang suara menengah/netral yang terkesan lebih cari aman. Dikemukakan oleh Ustadz Zaki Mirza yang katanya, lebih mengembalikan itu kepada pribadi Dorce.

Katanya pula, semua hanya bisa memberi "saran", tetap saja keputusan berbuah konsekwensi dikembalikan pada individu itu.

Saya sendiri cukup terkejut, bukan pada 'keinginan' Dorce itu, tetapi suara 'berbeda dari Gus Miftah yang terlihat tegas, dalam hal ini bisa jadi karena ini ranah sensitif.

Kita yang awam, tentu saja punya argumen pula. Secara sederhana, dipastikan bahwa mendukung pendapat pertama yang terlihat jelas, karena ada suara MUI.

Seperti kita tahu, suara MUI ialah suaranya kumpulan Para kiai di Indoenesia yang pakar di bidangnya. Diakui otoritasnya oleh negara dan jelas sepak-terjangnya.

Entah nanti, suara dari "elemen HAM" yang biasnya agak lembut. Atas dalih nama hak asasi, terlebih di bawah naungan negara demokrasi kebebasan bersuara patut didengarkan. Ada UU melindungi. Ada keberpihakan negara, biasanya begitu.

Hanya saja, apa namanya kebebasan pula kalau "hukum agama" tercoreng demi keinginan semu.

Apa artinya percaya pada agama, kalau tidak patuh atau sedikitnya lebih memaksakan keingian sendiri daripada aturan baku agama,

Tentu ini paradoks!

HAM tak oleh jadi bom perusak kesucian agama, bagamanapun harus menjadi perhatian semua bahwa agama itu isu sensitif! 

Salah menetapkan bisa memicu konflik horizontal. Tentu kita tidak mau itu terjadi, yang tak boleh jadi bahan "main-maim" di kancah sosial. 

Singkatnya, kembalikan semua pada pakarnya. Jangan menyimpulkan atas keingian atau harap belaka. Sebab nanti, akan diminta pertanggung jawaban. Walahu'alam. []

Pasar Pandeglang | 1 Februari 2022

Posting Komentar

0 Komentar