Konflik Keluarga, Sebab Anak atau Orangtua?


Terdiri dari komponen anggota keluarga yang tak sedikit memuat resiko yang cukup berat. Teradang resiko ini menjadikan konflik yang melelahkan. Lintas kelas ya. 

Sebab kalau kita melihat sejarah banyak sekali konflik terjadi dari lingkungan keluarga. Namanya anak, tidak banyak atau sedikit sama saja. Punya muatan tanggungjawab lagi amanah. Baik dunia dan akhirat.

Meskipun harus dicatat, tidak semua. Ada banyak bangunan keluarga justeru memberi motivasi besar melecut peradaban besar. Nah, tulisan ini coba mnyorot sikap kita terhadap ragam perbedaan di keluarga, seperti apa dan harus bagaimana mengelola konflik tersebut.

Ada Yang Bercerita

Ibu Prato sebut saja begitu, bercerita kepada saya tentang keruwetan hariannya di rumah. Dia ibu dari 4 anak dan semua anaknya sudah menikah serta memiliki buah hati. Bisa ditebak usianya. Menjelang senja. Cukup sepuh.

Tadinya dia pikir semakin sepuh maka tidak akan dibebani oleh ikhawal gesekan yang dialami dulu. Ternyata itu hanya harap belaka. Sekarang pun masih jua dihadapi. Lama-lama buatnya keki.

Sikap anak-anaknya masih banyak yang kekanak-kanakan. Sikap itu nyaris tidak berubah sekalipun sudah bertambah usia. Pola mendidik anaknya pun terhadap cucunya, kadang buatnya greger buat 
kepalang. 

Menantunya sering membuatnya urik-urikan. Pagi seharusnya sudah terjaga, ini masih tidur pulas. Berangkat kerja gimana maunya. Penghormatan adanya pun, ya ala kadarnya saja. Jadi bingung, apa sebenarnya motivasi menikah sebelumnya.

Beban rumah tangga yang seharusnya beralih ke tangan dan pundak anaknya, faktanya tetap perlu dipegangnya. Tanpa uluran tanganya, tetap saja terbengkalai. Padahal di usianya sekarang ingin lebih slow menjalani hari.

Baru bisa menyantuni dan memberi uang bulanan ala kadar saja sudah luar biasa sombongnya, gak tahu apa, berapa uang total dihabiskan untuknya sampai saat ini? 

"Kadang bingung juga," katanya, "dekat anak sering buat kesal saja. Jauh dari anak kita rindu dan butuh perhatiannya. Apalagi pas sakit, kehadiran mereka amat berharga," simpul ibu itu dengan senyum hambar. Seolah ada selaksa pahit dari keadaannya.


Begitulah. Paradoks kerapkali terasa. Antara harus menerima dan menahan sabar di dada. Sebagai manusai tempatmya resah kalau tumpukan beban sudah menghimpit dada. Terus saja mencakram jiwa sehingga memenjara rasa plong di sanubari.

Perlunya Membuat Skala

Sikap dan karakter anak secara tak disadari buah dari pendidikan orangtuanya. Atas namanya cinta dan sayang apa saja dilakukan untuk anak.

Tidak memperhatikan mana nilai edukasi dan mana bentuk cinta seutuhnya. Jadinya anak kebingungan merespon sikap orangtuanya. Mana itu edukasi dan mana kemarahan belaka.

Menurut psikolog, seharusnya nilai edukasi sudah harus sedini mungkin ditanamkan pada anak, bahkan kalau bisa sewaktu dalam kandungan. Di usia tersebut fase produktif anak meniru, merespon, dan memahami lingkungannya. 

Di sinilah perlunya orangtua memiliki pengetahun. Hal itu bisa menentukan dan menanamkan pola seperti apa diharapkan. Pengamat pendidikan di layar kaca pernah berkata, di antara banyak kenakalan remaja itu karena anak overdosis nasehat.

Seharusnya orang tua bisa membaca kejiwaan anak, ada saat dia butuh teman bicara dan saat di mana butuh nasehat. Bijak menempatkan kapan harus bicara dan 
menasehati.

Karakter itu bukan produk instan yang sekali dilakukan akan langsung terjadi. Harus ada proses di mana membutuhkan durasi waktu. Hal ini kurang disadari oleh orang tua. Cara termudah, ya melakukan upaya kekerasan untu melumpuhkan kenakalan anaknya.

Di saat yang sama, anak kurang cerdas membaca gejala sosial. Kalau jaman bisa berubah kenapa pola pikir mereka tidak berubah seiring bertambahnya usia. Hidup itu ada fasenya, Itulah namanya siklus.

Dulu memang wajar masih bergantung kepada orangtua. Bisa merengek sambil ngambek. Maka lucu sekaligus mengherankan di usia yang terus bertambah masih juga tidak move-on. 

Apa-apa kembali pada orangtua. Oke kalau masalahnya besar, masa iya hal yang kerdil masih butuh pemecahannya pada orangtua juga?!

Menyadari dan Perlu Mengoreksi Diri

Mengoreksi diri itu perlu, tidak hanya karena kita saah salah. Sekalipun kita ada diposisi benar. Karena ukuran benar dan salah itu relatif. Bisa saja yang kita anggap benar itu kurang di mata orang lain. Begitu sebaliknya.

Seperti yang dipaparkan di atas, sebagaimana kita tahu, keluarga itu pondasi peradaban sebuah bangsa. Untuk itu orangtua perlu meraba sikapnya selama ini bagaimana. Sudahkah baik dan benar. 

Sedikitnya memahami sudah tepat apa belum. Jangan terus merasa sudah benar, tetapi menyisakan luka di hati anak.

Anak pun tak selalu merasa paling berhak menyalahkan orangtua. Apalagi memposisikan dirinya hanya korban atas ketidakmampuan orangtuanya memenuhi keinginannya selama ini.

Penting menengok etika dan pegangan moral seperti apa dia pegang selama ini. Apa karena jiwanya sudah terbuka atau masih dijajah iri pada dunia orang lain. 

Kalau terus menyimpan ketidakbahagiaan atas sikap orangtua, dia pun harus melihat dirinya. Sudah sejauh mana melakukan dan memperbaiki dirinya. Ingatlah, dia seperti sekarang karena kerja keras dan perjuangan orangtuanya.

Selama ini orangtuamu rela mengalah dan menyingisng egonya demi kemauanmu. Bersabar karena sikapmu. Berat hati karena ketidakprhatianmu. Rela pula memahamimu padahal selama ini kamu terus menjelekannya, baik pada orang lain atau bisa pula gumpalan dendam di hatimu.

Dia pastinya tahu. Tahu dengan apa dan seperti apa kamu. Tapi lihatlah, orangtuamu memilih bertahan dan pura-pura tidak tahu. Kurang ajarnya kamu, masih pula membandingkannya dengan orang lain padahal di dunia ini tak ada yang sempurna dalam hal apa saja.

Kamu fokus ke hatimu dan gagal menangkap kerutan di wajahnya serta seabrek rasa sesal di hatinya. Kamu ingin ridha-Nya tetapi acapkali melukai dasar hatinya. Bodohnya kurang menyadari dan antipati. Entah sampai kapan tragadi ini menemui jalan cerahnya. Hanya Allah yang tahu.

Kesimpulan

Untuk itu, sikap dan tingkah laku kita perlu dinamika menangkap sinyal sosial. Kalau kita ingin bahagia dan damai dengan jiwa, caranya bercermin pada nurani orang yang sudah putih hatinya.

Dunia ini memang sementara, tetapi di balik sementara itu tersimpan rahasia dan amanat di baliknya. Kegalauan hati sering timbul karena kita gagal menangkap realitas yang ada.

Bukan karena kita bodoh tetapi lebih tidak peka menyadari suara hati dan gemerisik damai. Dus, tinggal kita memilih akan ke arah mana berjalan sebab kita diberi perangkat untuk memilihnya. Bukankah 
begitu? (****)

Pandeglang | 16 Agustus 2022
Mahyu An-Nafi 

Posting Komentar

0 Komentar