Di Momen 17 Agustus, Terus Menggali Makna Kemerdekaan


Merdeka itu apa? Tiap tahun terus menjadi perhatian terkadang diskusi kita, apa sesungguhnya merdeka dan sejatinya rasa merdeka. Ironi memang. Kita ssudah merdeka tepat di 77 tahun. Usia yang tidak muda lagi.

Di tengah publik tetap saja kita disuguhi kondisi sosial menjemukkan. Pengamat sosial membeberkan kegagalan seperti apa saja yang belum negara hadirkan sampai hari ini pada segenap tumpah darahnya.

Tetapi sayangnya, tulisan ini tidak akan membicarakan sejauh itu. Di media sosial dan situs berita keluhan demikian gampang kita temui. Maka fokus kita lebih kepada apa yang bisa kita lakukan dan hadirkan untuk negeri tercinta. Bukan omongan halu berbau keluhan lagi. Semua itu harus kita sirnakan. 

Di momentum merdeka ini, apa sesungguhnya esensi yang kita bisa ambil dan seperti apa penyikapan kita terkait kondisi bangsa ke depannya. Saya pikir, ini  lebih produktif untuk kita lakukan daripada mengeluh terus menerus tanpa ada langkah pasti. Kita harus ambil spirit itu untuk tetap optimis memandang masa depan cerah nanti.

Kita paham dan yakin, kemerdekaan yang kita raih adalah anugerah dari Allah atas semangat juang para pahlawan kobarkan. Semangat juang itu yang kerapkali membuat penjajah kerepotan dan ketar-ketir.

Dari awal penjajah menginjakan kaki di bumi Nusantara sejarah mencatat putera bangsa sudah mengadakan larangan yang kemudian berujung perlawanan. Meski alutista tidak seimbang, prajurit kurang terlatih, dan kondisi tubuh tidak memungkinkan. Perlawanan itu tidak menyurutkan nyali para Pahlawan Bangsa.

Kita mengenal nama besar seperti Sultan Ageng Tirtayasa Banten, Sultan Antasari, Sultan Hasannudin Makassar, Pangeran Pattimura, Sultan Iskandar Muda, dan sederet nama besar yang dicatat tinta sejarah. Baik yang dikenal maupun belum dikenal masyarakat.

Nama itu akan abadi menjadi bunga peradaban yang tumbuh di tanah yang menebarkan harum sermerbak di bumi pertiwi. Sayangnya, sejarawan banyak mengatakan bahwa gerakan perlawanan pada kolonial sebelum abad 19 itu belum terstrukur dengan baik.

Gerakan itu lebih berbau kedaerahan dan ruang lingkup terbatas. Belum berskala luas. Belum pula mempersatukan putera-putera daerah untuk satu kepalan dan tinju menyingkirkan para pengeruk kekayaan bangsa.

Di abad 19 lah perlawanan itu mulai tumbuh dan terstruktur pengaruh pendidikan barat terasa oleh putera bangsa. Bermunculan organisasi masa yang berbasis kadaerahan mengarah pada kebangsaan. Kita mengenal organisasi seperti Sarekat Dagang Islam--- kemudian berhaluan politik ke Sarekat Islam, Budi Utomo yang menjadi cikal kebangkitan bangsa, Muhamadiyah, Tarbiyah Islamiyah, Al-irsyad, Persis, PNI, PAI, PPI, Nahdatul 'Ulama dan masih banyak lagi.

Momen puncaknya ialah lahir kongres pemuda dari latar belakang suku, agama, dan ras senusantara. Bergemalah Sumpah Pemuda dengan tiga poin mempersatukan kita baik bahasa, bangsa, dan tanah air. Sampai kini terus menggugah kita untuk menyadari kekayaan jiwa dan kecerdasan intelektualnya mampu membaca tantangan zaman. Entah kalau anak bangsa masih mempertahankan ego primordial, mungkin lain lagi ceritanya.

Singkatnya, kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Bung Karno di jalan Pegangsaan timur itu murni buah kerja dan proses panjang perjuangan anak bangsa. Sesulit dan sukar apapun ujian tidak menyerah begitu saja. Ada harga mati di sana, ada tetes darah dan segala dahaga yang tidak terobati oleh gelar pahlawan saja. 

Sejatinya, ada yang lebih besar mereka harapkan pada kita generasi penerusnya sekarang. Tak lain memelihara persatuan dan semangat heroisme menantang kedzaliman bagaimanapun bentuk rupanya. Kemiskinan, kebodohan, penipuan, korupsi, dan kolusi berikut ketidakadilan adalah musuh bersama yang harus kita hadapi.  Sama-sama merapatkan barisan melawan musuh nyata itu.

Jelas ada di depan mata. Tugas besar itu tidak hanya ada di pundak negara belaka. Kita sebagai warga negara harus turut aktif dan berkontribusi sekecil apapun. Sesuai kapasitas dan kemampuan yang bisa kita lakukan.

Tentu saja gerakan ini tidak hanya pada tataran kata-kata. Harus ada aksi nyata. Apapun itu. Keberpihakan kita pada bangsa berangkat dari niat tulus dan baik. Baik di cara dan langkahnya agar tidak bersingungan dengan hukum positif dan menimbulkan keresahan, apalagi konflik nantinya. 

Semoga di hari kemerdekana ke-77 kita lebih dewasa memandang persoalan dan lebih giat membangun kemapanan untuk mencapai negeri yang berkualitas serta layak dicap negeri teladan. Sebuah negara yang tidak lagi melihat ketimpangan sosial, ketidakadilan hukum, korupsi merajelala, kriminal makin menggila dan gejala lain yang memuakkan jiwa. Bersama mari terus menggali makna merdeka dan menerapkannya demi jaya bangsa yang amat kita cintai. Wallahu'lam. (***)

Pandeglang,  17 Agustus 2022

Posting Komentar

0 Komentar