Catatan Diskusi Terbuka Bersama Ikamawa di Ooproom Sekda Pandeglang


__________

Acara dimulai sekitar pukul 08:30. Agak molor sedikit. Bertempat di Ooproom Sekretaris Daerah Pandeglang, diskusi publik dan muber mengambil judul cukup menarik, "Dilematis Julukan Pandeglang Sebagai Kota Wisata dan Kota Santri" pada tanggal 20/8/22 oleh Ikamawa (Ikatan Mahasiswa Beasiswa) STIA Banten. 

Acara itu sendiri dihadiri oleh beberapa mahasiswa dan pelajar sekitar Pandeglang. Menghadirkan dua narassumber : Pertama, Kadis pariwisata dan Kebudayaan Pandeglang; Kedua,  Ibu Rita anggota DPRD komisi 4 yang membidangi destinasi wisata. 

Untuk lebih lengkap mari saya uraikan seperti apa serunya acara yang berhasil saya tangkap pasca acara sebagai orang "tak dikenal" menyusup ke sana. Tapi tenang, saya bukan teroris ya. Haha.

Pemaparan Ibu Kadis Pariwisata dan Kebudayaan 

Narasumber pertama sendiri seharusnya disampaikan oleh Pak Imran, salah satu staf di dinas pariwisata. Tetapi nampaknya ada kejutan karena Ibu Kadis berkesempatan hadir dan meluangkan waktunya beserta rombongan dinas pariwisata, maka langsung saja panitia memberi panggung.

Bagi saya pemaparan Ibu Kadis cukup baik, memahami tema dan renyah menyampaikannya. Jangan salah, beliau sudah doktor gelarnya. Katanya, tidak sama sekali dilematis sebutan Pandeglang kota Santri dan Wisata. Karena keduanya dibangun dari rumpun yang berbeda. Tetap tujuannya sama. Sama-sama ikon diberikan oleh masyarakat. Julukan begitu istilahnya.


Berangkat dari kenyataan itu, apa yang harus diperdebatkan. Pemerintah Pandeglang sendiri melalui dinas pariwisata telah banyak melakukan terobosan, baik secara nyata maupun belum tersorot oleh masyarkat. Misalnya di ujung Pandeglang telah menjadi kawasan ekonomi khsusus.

Artinya, ada suntikan signifikan dan perhatian besar pemerintah pusat untuk memajukan destinasi wisata di daerah Pandeglang. Usaha terus dilakukan agar mampu mengenalkan dan akrab di benak masyarakat. Sejauh ini optimis menatap pandeglang lebih maju dan cerah masa depannya.

Pemaparan Ibu Rika, anggota DPRD Komisi 4 Pandeglang

Ada satu sikap yang baik dari ibu muda ini, yakni berani meminta maa. f atas ketertingalannya hadir. Seharusnya bisa hadir di tempat acara tepat waktu, ini datang sekitar pukul 11 siang. Beliau sampaikan alasannya karena harus check up di RSUD Pandeglang. 

Pengelolaan pariwisata di Pandeglang patut diapresiasi, tetapi perlu beri catatan pula. Terkait pergantian dari Kota Santi ke Kota Wisata itu mengherankan. Kenapa ada pergantian sebutan pula? Bagaimana mekanismenya kalau ada. Atau bahasa Kadis itu brending, tanpa ada prosesnaya seperti apa. Selama ini DPRD mempertanyakan juga, sebab belum ada diskusi untuk itu. Tahu-tahu sudah jadi saja sebutannya. 

Kalau kita ngomongin wisata religi ada hal patut digarisbawahi. Saat kunjungannya ke Lombok--- kota seribu masjid, ada hal yang buatnya tercengang terkait satu sikap wisatawan yang bisa bugil dekat Gili Trawangan. Padahal Masjid simbol agama, tapi kaidah seperti apa membenarkan laku telanjang? Kalau diterapkan di Pandeglang entah seperti apa?

Ada beberapa hal untuk dicatat terkait destinasi wisata di pandeglang agar lebih maju lagi. Di antaranya harus bisa menjaga kenyamanan dan keamanan pengunjung. Bisa dibayangkan kamu ingin ke daerah Sumur sana. Itu butuh waktu yang tidak sebentar. Eh, pas baru datang bukan dimanjakan malah dibuat keki duluan. Seharusnya memberi jaminan keamanan di sana, bisa bebas dari pencopetan atau penjual cemilan yang kurang beretika, menjual setengah memaksa.

Selain itu, kebersihan lingkungan dan udara patut diperhatikan. Di sisi lain, anggaran dinas pariwisata disunat untuk program unggulan bupati yaitu Jaka Mantul. Tentu saja problem juga ini sampai kabarnya duta budaya sudah tidak berjalan lagi terkendala anggaran.

Yaang cukup mengerikan dari temuan beliau bekerja sama dengan RPM Cidahu bahwa ada praktek lesbi dan biseksual di kota Pandeglang. Bahkan katanya, ada temuan terkait komunitas lesbi di Pandeglang tersebar ke kecamatan sekitarnya. Mereka bisa berhubungan badan, dari temuan awal efek dari rumah yang tidak lagi ramah terhadap anak.

Info ini cukup menjadi perhatian seisi ruang Ooprom. Walau bagaimana Pandeglang terlanjur disebut kota santri. Ada banyak kalangan moralis pastinya dengan kenyataan ini, terasa tersentil sekaligus tertusuk sembilu. Kenapa ini terjadi? Sejauh mana pergerakan mereka yang tidak di-elaborasi tersebut.

"Maaf ya, untuk yang sudah bertanya untuk tidak bertanya lagi. Beri kesempatan pada teman-teman lain yang belum bertanya. Kebetulan dorprise-nya terbatas," kata moderator dengan senyum ceria lagi manis dipandang. 

Ya sudah, mau apa. Padahal ada yang harus saya tanggapi terkait istilah wisata religi yang misleding. Fokus kita terkait kata religi lebih kepada Islam dan meng-islamkan apa-apa yang ada. Baik Ibu dewan dan Ibu Kadis sampaikan itu, tentu saja perlu diluruskan. Mau apa, toh belum ada kesempatan.

Tanggapan Saya Terkait Narasumber 

Sejujurnya ada yang saya soroti tentang pemaparan kata "Wisata Religi" yang disampaikan, pertama mengarah ke Islamisasi, kedua formalitas kata atau kekaku-an sikap. Sejauh bacaan saya dari pemikiran cendekiawan Islam Indonesia tidak seperti yang paparkan kedua naarsumber. Justeru selama ini ilmuan sering berbeda pendapat terkait itu.

Apa yang disampaikan pemateri adalah wisata religi itu sakralisasi Islam. Padahal maksud religi di sana tidak selalu diarahkan pada Islam semata karena makna religi universal. Bisa kepada agama mana saaja. 

Ketika saya menyebut wisata religi kurang  lebih maksudnya menerapkan prinsip Islam yang ramah dan membuat nyaman setiap orang. Kalaupun mau tetap menonjolkan simbol Islam beserta aturannya maka kita bijak menempatkan khusus kepada Muslim saja.

Islam itu tidak sekaku yang sementara orang pahami. Justeru dengan menerapkan wisata religi kita tengah menampilkan Islam yang rahmat itu seperti apa dengan tidak selalu menampilnkan dalam regulasi politik. Sudah sepantasnya, kalau kata Kuntowijoyo, bahwa muslim mampu membaca gejala sosial serta mampu mengelolanya.

Sampai sini mungkin jelas ya, bahwa wisata religi itu bukan sakralisasi agama tetapi humanisasi, liberaliasi nilai agama-agama. Fokus pada esensi dan hasil, tidak pada hal sakral sehingga membuat kita terlalu dibatasi. 

Sebenarnya, saya juga ingin bertanya terkait reses DPR itu apa sama dengan DPRD. Kalau sama, ke mana saja Ibu Rita ini saat reses? Kalau ke masyarakat, masyarkat mana? Kalau ke kampung, kampung mana?

Setahu saya, belum pernah desa kami dikunjungi wakil DPR yang tengah reses. Ada kunjungan, ya paling kalau tengah kampanye. Itupun pragmatis dan spontan.  Untuk itu, reses itu apa kata lain dari liburan ya?

Penutup   

Saya akui, acara tadi pagi itu bagus. Terasa kekompakan panitia. Pengisi acara pun nampak antusias. Ke depan perlu ditingkatkan lagi dan semoga makin baik. Dekat orang-orang dinamis membuat saya semakin terlecut untuk tidak menyerah pada keadaan. Sesukar apapun itu tetap tegar dan semangat menjalani harimu. Di tangan generasi mudalah nantinya nasib bangsa dipegang, untuk itu mari rapatkan barisan berkontribusi untuk bangsa. (****)

Pandeglang, 20 Agustus 2022

Posting Komentar

0 Komentar