BBM NAIK RAKYAT BERHAK PANIK!


Suara keluh dan kritik dari elemen bangsa terkait naiknya harga BBM masih meramaikan jagat media. Tidak hanya itu, demo terus dilakuakan aliansi mahasiswa dan kalangan buruh. Suara mereka jelas, menaikan harga BBM bentuk ketidapekaan pemerintah terhadap kenyatan sosial yang masih paradoks. Dzalim bisa begitu.

Sebagian pejabat mungkin masih sanksi dengan suara-suara demo, kebanyan dari mereka menuduh itu suara bayaran dari oknum tertentu yang memang kontra dengan pemerintah. Suara ini tidak seutuhnya salah, memang benar sebagian demo itu "dibayar" untuk menuturkan kalangan tertentu.

Tetapi tidak semua. Ada banyak suara demo justeru dari mereka yang jengah dengan keputusan pemerintah yang kurang bijak membaca realitas sosial. Suara rakyat yang tidak berani ditampung kalangan mahasiswa dan aliansi buruh. 

Rakyat dipaksa untuk berhemat tetapi pejabat dan elit bangsa tidak dipaksa untuk hemat pula? Seharusnya adil misalnya, mengurangi kungker tidak perlu dan menyunat gaji yang ada untuk dialokasikan pada hajat rakyat banyak. 

BBM adalah kebutuhan rakyat biasa. Di sana muara harga dan penyabab apa saja melonjak. Menurunan atau menaikan akan memberi dampak signifikan pada hajat rakyat yang kini terengah membeli beras bagus, ikan baik, dan biaya pendidikan yang "katanya gratis" sering disusupi biaya-biaya yang tak kasat mata.

Mau sampai kapan menutupi mata atas keluh sopir angkot yang pendapatannya turun drastis, harga naik, dan biaya listrik makin membengkak. Belum lagi suara honorer yang gajinya dipotong, status kerja belum jelas, dan beban hidup nyata di depan mata.

Suara petani yang lahan usahanya makin menyempit dengan harga bahan-bahan ikut melonjak. Anaknya ingin beasiswa tapi tak sedikit diserobot kalangan elit yang menyalahgunakan wewenang ada. Para pedagang belum lagi, ritme pasaran yang entah makin rancu saja. Daya beli melemah, kebutuhan makin gila, dan tagihan datang silih berganti menyapa.

Pada siapa rakyat yang ingin mengeluh bersuara kalau suara itu kadang kala dicurigai sebaga petaka pada bangsa. BBM naik yang meroket jelas harga sembako dan ongkos naik kendaraan. Pelaku usaha bingung, mau naikan pasti konsumen bersuara dan tidak dinaikan mana bisa? Kecemasan hadir di sana. Ada resah dan takut, penghasilan tetap segitu terus beban makin membengkakk!

Kalau rakyat dipaksa terus untuk bertahan disaat yang sama janji hanya pepesan, ini tentu menjadi persoalan. Pemerintah beralasan di negeri tetangga harga BBM juga menggila tapi lupa berkaca, gimana kondisi ekonominya dan pendapatan rakyatnya seprti apa. Lihat dong daya sejahtera rakyatnya gimana, UMR-nya samakah tidak?

Semoga saja kepeduliaan dan keberpihakan pada rakyat jelata bukan sensasi belaka. Kita ingin suara lapar terdengar pejabat negara, keluh dan jerit menjadi perhatian utama pemegang kuasa bangsa, semua bisa diperbaiki agar keluh tidak menjadi citra buruk.

Minyak goreng yang sempat menggila seharusnya tidak harus viral dulu baru kena ciduk oknumnya, kenapa kasus-kasus kudu viral baru jadi fokus utama. Pertanyaannya, gimana sih cara kerjanya?

Kita pun dibuat heran, dulu ada petinggi partai menangis atas kenaikan harga BBM. Sekarang saat tampuk kekuasaan ada ditangannya, loh kok diam-diam bae. Bahkan menyetujui dengan kepala tegak. Dagelan apa lagi hai wakil rakyat?!

Sampai di sini, kalau masih ada banyak jalan untuk membuat kebijakan penaikan sesuatu yang efeknya pada seluruh rakyat, utamanya kalangan dompet tipis: pikir-pikir dan lebih peka-lah. (***) 

Pandeglang |  7 September 2022

Posting Komentar

0 Komentar