Tumpulnya Suara Pelajar (Islam) Sekarang

==
Pelajar bagian dari agent of change, yang sepanjang sejarahnya selalu hadir memperbaiki carut-marut kondisi sosial. Berbicara lantang dan berani bersikap terutama di bidang pendidikan yang menjadi konsen utamanya. Sebab mereka percaya bahwa pendidikan adalah pintu gerbang menuju manusia unggul lagi beradab. Negaranya maju rakyatnya bahagia.

Tidak ayal kalangan pelajar paling gigih berjuang untuk republik ini. Tidak peduli aral melintang dan resiko tidak mudah, mereka selalu hadir dan konsisten mengantarkan NKRI ke gerbang pintu gerbang kemerdekaannya.

Nama-nama besar seperti Wahid Hasyim Bung karno, Bung Hatta, Natsir, Hamka, AA. Maramis, Coroaminoto di antara sederet mahakarya pelajar yang terdepan andil berkontribusi. Tidak berlebihan kalau negara memberi penghormatan tinggi sebagai pahlawan nasional. Gerakan mereka jelas dan terasa sampai hari ini.

Namun hari ini, pelajar kita kehilangan kendali untuk hadir di tengah kondisi bangsa yang terus diterpa isu panas nan gersang. BBM naik yang serasa mencekik rasa kaum cilik luput dari perhatian kalangan pelajar. Disintegrasi bangsa terkait perdebatan Islam vs pancasila, paham primordial dihembuskan kalangan, dan isu seksi lainnya.

Sekilas lalu memang kita berpikir, apa urusannya suara pelajar dan harga BBM? Mungkin sebagian kita lupa bahwa imbas dari naiknya BBM mengarah pada pembiayaan sektor lain pun menjerit. Harga buku naik, ongkos naik, dan pulpen ikutan naik. Belum lagi menurut para pakar di media, naiknya harga BBM di tengah rakyat baru terjaga dari belitan korona, wujud jauhnya kepekaan pejabat bangsa terhadap suara rintihan rakyat jelata. Pencabutan subisidi simbol ada hubungan emosi tidak baik warga dengan wakilnya di sana.

Tetapi ke mana suara pelajar yang menjadi adik mahasisiwa yang notabene refresentatif suara masyarakat? 

Pelajar + Mahasiswa + DPR = Seharusnya menjadi pengontrol kebijakan eksekutif, sudahkah sesuai kehendak nurani rakyat yang masih merunduk dengan bayang-bayang di garis kemiskinan?

Kalau menurut Paulo Freire, potret pelajar sekarang bisa jadi karena konsep pendidikan ala bank yang terus di anut lembaga pendidikan. Saat murid dijejali teori dan ilmu oleh guru, di saat yang sama guru tidak mampu membaca kebutuhan murid milenial. Guru menjadi "maha tahu" dan murid menjadi "si bodoh" yang tidak tahu apa-apa. Padahal kata Freire, sudah seharusnya murid dijadikan mitra diskusi. Berani bicara dan menyampaikan, pada jadinya terjadi dialog dua arah bukan satu arah. Antragogi bukan pedagogi.

Kenyataan hari ini, pelajar kita seperti kehilangan pegangan. Tidak tanggap terhadap situasi nasional dan dimanjakan oleh prasarana modern. Kalau kata Lucien Goldmann imbas dari kurang berkonsntrasi pada "kesadaran nyata" dan "kesadaran potensial". Kesadaran nyata mencakup ketidakmampuan untuk memahami "kemmpuan yang belum dicoba" yang terletak di situasi terbatas (2008 : Pendidikan Kaum Trtindas).

Singkatnya, pelajar lebih suka menjadi penonton daripada aktor di lapangan. Berani bicara di tataran elit tetapi malas turun membersamai rakyat. Mereka lebih bangga duduk bersama para elit daripada berbincang serius bersama jelata. Miskomunikasi. Nama rakyat hanya tameng untuk kepentingan diri dan keompoknya bukan berangkat dari niat suci.

Sehingga terjadilah pragmatisme gerakan. Rakyat pun kehilangan kawan untuk menyurakn suara gregetnya, saat pelajar dan mahasiswa gagal paham terhadap realitas sosial politik dan sosial-ekonomi global. Tak ada beda, mana orang terdidik dan bukan. Bedanya hanya di seragam. Selebihnya sama.

Pelajar kita hari ini lebih akrab dengan sosial media dan game online daripada tercebur di dunia pemikiran yang seharusnya menjadi medan garapnya. Budaya latah sosial, literasi, dan takut memegang prinsip benar menjadi gaya keseharian pelajar kita. Padahal kelak ditangan mereka nasib bangsa dipegangnya.

Hal inilah yang perlu kita perhatiakn agar generasi pelajar bisa tanggap dan memahami tugasnya. Tidak sekedar belajar tetapi memahmi bahan ajaran dan siap merflesikan ide serta gagasannya. Kita patut cemas melihat pembenturkan pelajar Islam dan pelajar biasa. Padahal yang dibutuhkan negara adalah aksi bukan kebanggaan semu.

Isu seputar pelecehan, pemerkosaan, gender, koruptor, senoritas dan lainnya di lemaga pendidikan minim perhatian dari kalangan pelajar, utamanya aktivis yang pelajar. Tugas mulia ini hempas oleh mandulnya semangat kritis dan mau bersikap sebagai wujud meneladani warisan para pahawan negeri yang tulus berjuang untuk NKRi.

Atas kenyataan ini, kapan kiranya pelajar (Islam) akan bangun dari tidur malasnya? Wallahu'alam (***)

Pandeglang | 10 September 2022

Mahyu An-Nafi, pembaca dan penjual harapan 

Posting Komentar

0 Komentar