Antar Diam-Mendiamkan

Memilih Diam Apa Mendiamkan?
____
Kamu kok sekarang berbeda kak, ya tidak seramah dulu sewaktu aku terpuruk. Terbujur antara ragu dan takut.
Aku bukan siapa-siapa, ya. Apakah berarti tidak boleh menatap mentari di ufuk timur sana untuk mendapatkan mencuri sinar lembutnya.

Akupun jadi bingung, aku siapa dan kamu siapa. Kita sebenarnya ini kenapa, kok ragu dan cemas dengan kenyataan hidup. Padahal jarak begitu jauh memisahkan. Kita seumpama punguk merindukan bulan, atau seperti unta yang mengharapkan kehangatan jilatan mentari.

Aku siapa dan kamu siapa?

Dadaku sudah terbakar. Entah inikah rindu, ini kah cinta atau getaran sekejap yang kapan saja hilang ditelan bumi. Aku sungguh terpenjara, cemas memikirkan hal apa terkait keadaan menyiksa ini.

Bilakah ini getaran halus, sehalus apa? Kok ada yang rela nelangsa karenanya? Semengerikan itu kah dunia rasa? Atau rasa tidak mengerikan, yang mengerikan adalah tidak memiliki rasa apa-apa.

Kok kamu diam?

Aku serasa didiamkan. Tak terdengar tawa renyah. Tak terlihat senyum manis. Tak terasa kehangatan. Semua serasa di alam yang serba gelap. Pekat begitu saja. 

"Aku  baik-baik saja," katamu.

Baik-baik saja? Bagaimana disebut baik kalau siangku tak ada yang mengusap ragaku dari nasehat? Ke mana kehangatan sapaan? Di mana warna kesukaan? Siapa yang merubah dan dirubah? Apakah ini perkara bisa? Kenapa bisa terjadi?

Sungguh, aku tidak ingin ini. Aku cukup tahu kabarmu dan seperti apa keadaanmu, sudah lebih dari cukup membuat jiwaku nyaman.  Sudah. (**)

Pandeglang, 21 Februari 2023    22.41

Posting Komentar

0 Komentar