Pembubaran Pengajian Ustad Hanan Oleh Banser dan Kedewasan Kita


Pembubaran Pengajian Ustaz Hanan dan Terujinya Kedewasan Berbangsa Kita

Peristiwa pembubaran pengajian Ustadz Hanan (12/2/23) di Pamengkasan oleh Banser masih menjadi perhatian kalangan masyarakat, yang masih diluputi keheranan. Kenapa lagi-lagi dibubarkan. Tak adakah cara lain yang lebih pantas?

Lagi, pengajian Ustadz Hanan dibubarkan oleh saudara sebangsanya dengan alasan yang entahlah, itu wujud demokrasi atau sejatinya cara meruntuhkan demokrasi itu sendiri. Sebabnya pembubaran itu bukan kali pertama, sudah berkali upaya pembubaran itu.

Benarkah itu cara merawat keharmonisan bernegara kita?

Nurani dan logika sehat pasti menolak, apapun sebabnya. Sebab keharmonisan harus dibangun dengan cara baik lagi benar. Di media kita membaca alasan pembubaran itu karena yang bersangkutan terindikasi paham HTI atau Ikhwanul Muslimin juga karena ceramahnya kontroversi.

Kalau benar begitu, bukankah tugas pembubaran berada di tangan penegak  hukum? Yang sah dan berwenang untuk menghakimi warga negara atas bukti-bukti bukan sekedar tuduhan. Ormas atau individu tidak punya kewenangan merampas hak warga negara sebagaimana tertuang di UU.

Kalau ulah oknum ormas itu dibenarkan apa bedanya dengan ulah FPI yang sering sweeping jua bersikap tegas lantas dicap tidak toleran dengan perbedaan pandangan. Juga tak menghormati penegak hukum yang sah memiliki wewenang melaksanakan kelangsungan hukum.

Bukankah itu sama ya?

Di sinillah letaknya adil. Kita harus adil melihat persoalan yang terjadi di Madura itu. Benarkah yang bersangkutan menggemborkan pikiran yang ditakutkan tersebut?

Katakanlah iya, maka bukan sekedar pembubaran yang dilakukan. Sebagai negara yang plural kita sudah menyadari perbedaan dan keragaman maka cara mudah yang bisa dicoba adalah dialog. Inilah wujud demikrasi.

Sebelum membubarkan acara, sudah adakah upaya memangkas resiko konflik itu?

Kita tidak tahu sudah berapa waktu, tenaga, materi yang sudah dikeluarkan panitia acara. Kita pun tidak tahu seperti apa perasaan mereka yang dihinggapi jamaah yang jauh hari sudah menyempatkan hadir, betapa kecewanya mereka. 

Bukankah mengecewakan juga menyakiti itu dosa ya?

Kalau tuduhan terhadap Ustaz muda itu karena terindikasi pada Ikhanul Muslimin sebabnya study di Mesir dan ketahuan mengamalkan al-matsurat, sungguh ini amat dangkal.

Kalau teman-teman sempat baca karya dari Kang Habiburrahman El shirazy bisa dipastikan beliu mengajak kita mengakrabi wirid al-matsurat. Kita diajak mengakrabi perjuangan Syaikh Hasan Al-Banna jua tokoh sentralnya, tetapi tidak ada yang protes menuduhnya antek aliran keras?

Kita pun digegerkan pembubaran aktivis gereja di Lamnpung, ini ada apa? Kalau sudah begini, nampaknya ada yang salah sebagian kita memahami keragaman di republik ini. Keragaman dipahami secara parsial. Bukan secara umum. Hal ini pemicu kecurigaan sehingga kedewasaan kita berbangsa belum jua matang.

Kita perlu merenungkan, akan seperti apa nasib bangsa ke depan kalau setiap perbedaan pandangan disikapi dengan saling curiga, bukan dengan dialog atau diskusi hangat penuh keakraban.

Kita rindu masa-masa di mana, kita tidak saling menghakimi justeru kita membudayakan lagi saling merangkul. Diskusi warung kopi atau diplomasi nyantai selayaknya dibudayakan. Tidak hanya pada satu ormas atau kelompoknya tetapi untuk seluruh warga negara.

Lucunya, Menag lebih bersuara terkait pembubaran kajian ummat gereja di Lampung yang dibubarkan daripada di Pemangkasan Madura, padahal keduanya sama-sama memiliki potensi konflik. 

Sungguh menyejukkan KH. Cholis Nafis dari MUI pusat berkomentar bahwa siapapun tidak berhak membubarkan pengajian. Kalaupun memang ada ustaz terindikasi paham terlarang maka pencegahan dan upaya memberantas berada di tangan aparat hukum bukan di tangan pribadi atau golongan tertentu. 

Kalau itu dilakukan sama saja melangkahi hukum positif negara. Lalu, untuk apa ada penegak hukum kalau hukum itu sendiri seenaknya kita langgar? Semoga kita mau sama-sama belajar untuk terbuka lagi ramah terhadap perbedaan. Wallahu'alam. (**)

Pandeglang, 23/2/23

Mahyu An-Nafi An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar