Rumah Dunia dan Kesan Ke Sana

 
Bermimpi di Rumah Dunia
___
Serasa mimpi menginjakan kaki  di Rumah Dunia. Sebuah komunitas sastra yang telah banyak melahirkan penulis juga sastrawan di bumi Banten.

Lama sekali menanti keinginan bertemu, janji Allah selalu benar, tadi siang dengan izin Allah bisa menyambangi. Dari Pandeglang kami berangkat jam 11 siang, tadinya akan berangkat sekitar jam 10 atau 10.30. Qodarullah, tak terjadi.


Ini kunjungan perdana ke sana, berpindah dari satu kampung ke kampung lain. Ya, kami melalui jalan tikus. Bukan, bukan kami tikus tapi memilih aman. Motor kami bermasalah, tahu meren?!


Dengan adanya itu, sepanjang jalan aku merenung: wahai jiwa seperti inilah kehidupan!

Panas membakar bumi. Di lampu merah Palima aku melihat teatrikal kehidupan. Mereka yang menyambung hidup. Ketika lampu merah berkedip, ada yang mengamen, jualan asongan, badut, dan para calo.

Akupun melihat mereka yang lesu lantas melepas lelah di bawah pohon-pohon rindang menuju Ciomas. Wajah semangat  berbalut optimis demi dapur tetap ngebul atau demi menjemput rizki dari Yang Maha Kuasa. Kendaraan sepanjang sudut menanti  kedipan lampu.


"Beginilah Serang kak, jangakan siang pagi aja gini," kata adik yang menjadi ojek gratis di depan.

"Kenapa?"

"Gersang!"

Bangunan gagah berdiri terutama yang mencolok adalah UIN Sultan Hasanudin nan mentereng. Entah sudahkah diresmikan atau belum. Pendopo pemerintah Provinsi Banten dan sekitarnya tak kalah kinclong.

Tiap sudut jalan aku telanjangi, terutama mereka yang tengah meraup rupiah di denyut kota Serang. Wajah yang hebat, mata bening mereka yang bersolek juga mereka yang mengabdikan untuk khalayak tapi banyak diabaikan.

Satu jam lebih sampai ke tempat acara!

Aku bertemu Kang Naufal di taman Rumah Dunia. Ia relawan di sana dan sudah berkecimpung, bisa dikatakan pelaksana aktivitas Rumah Dunia ditemani tiga relawan lain. Sambungan sederhana juga hangat.

Saat aku datang tengah ada pelatihan membuat novel atau apalah,  aku melihat tapi tak terlalu memperhatikan. Sebab, aku belum kenal siapa-siapa. Gak mau sok kenal. Aku hanya izin masuk ke perpus lantas membuka dan membaca sekilas judul di sana. Heem, koleksinya.

Tidak lama adzan dzuhur berkumandang di Masjid sekitar, akupun meminta izin untuk menjemput cinta-Nya. Kata siapa di Masjid tak ada Tuhan? Kalau Tuhan yang anda maksud adalah "wajah" maka Allah tidak memiliki wajah seumpama manusia. Wajah Allah adalah istilah yang perlu di takwil, bisa kebesaran juga pula kekuasaan.

Lantas kenapa harus di Masjid?

Sebab di Masjid itu kita menemukan simbol juga identitas. Masjid adalah rumah. Kalau kita ngaku beriman tidak punya rumah, akan ke mana kita berpayung dari dinginnya peradaban semu?

Entah ini kejutan atau gimana ya, ternyata yang mengisi adalah Kang Hilman. Kang Hilman itu salah satu editor di Untirta yang seminar kepenulisannya sempat aku ikuti di Oproom Setda Pandeglang. Beberapa bulan yang lalu.

Jurnalistik itu kajiannya. Namum karena ini pertemuan ketiga, jadi aku ketinggalan. Tadi masuk pembahasan tentang Wawancara. Kami diajarkan efektif wawancara itu seperti apa, bagaimana kiatnya, dan jenismya.

Pertemuan tadi berisi diksusi-diskusi hangat. Kita bisa bertanya sepuasnya. Apa saja seputar jurnalis. Teman-teman banyak yang nanya, rata-rata mahasiswa. Mungkin aku doang yang statusnya gak jelas.

"Aku pikir kakak pematerinya," kata seorang teman, ketua kelompok tersenyum.

Lah, aku cuma bengong sambil senyum, dalam hati berkata,  "kamu bukan orang pertama bicara begitu teman." Tersenyum yang hanya aku yang tahu. Entahlah, kehidupan memang penuh misteri, mungkin hadirnya aku di Rumah Dunia ini bagian dari jawaban dari aneka misteri hidupku.

Rumah Dunia nyaman. Kakak relawan baik dan ramah. Peserta cukup humble meski agak malu, ya aku juga malu dengan kunjungan perdana itu. Tangan-kaki terasa basah oleh keringat dingin, sedingin tatapan dia yang kamu kecewakan!

Seperti itulah sedikit catatan tadi siang, sebagai oleh-oleh aku pinjam empat buku dari perpus.  Targetku rampung dalam satu minggu ini, sekurangnya ya dua jilid cukup. Apa yang kamu tulis kalau tak ada yang dibaca, apa yang aku keluarkan kalau tak ada yang di makan. Begitu kata Kang Munif adik Kang Abik.

Sebagai penutup, biar kugores saja ini:

Saat mata itu menusuk jantung,
aku terjatuh di peradaban
pesona hawa dengan asesoris modern
atau denyut mimpi kita
yang coba merobek tabir
ketakutan

Inilah kita,
penjelajah mimpi
memupuk asa
memapah rasa
bukan untuk syahwat belaka 
demi cita-cita

Salam kenal semua, nama pena saya Mahyu An-Nafi. Wallahu'alam. (**)

Pandeglang, 19/2/2023    22.31 

Posting Komentar

0 Komentar