Edit Hati, Mana Bisa?

__
Tadi aku diajari cara untuk mem-paralel-kan blog dan Instagram pribadiku. Oleh adikku, anak emakku. Secara umur di bawahku. Secara wawasan kreator gambar atau video aku kalah jauh, sejauh jarak antara aku dan kamu. Iya, kamu lagi. Hiks! 

Belum paham tapi malu kalau bilang belum paham. Mengangguk-angguk sok paham. Kalau ditanya balik, "Fahim tum?"

"Na'am." Sambil nyengir kuda. Syukur gak jadi kuda. Ah, kuda!

Aku memang payah kalau disuruh edit begituan. Bukan apa-apa, langsung gelap semua. Segelap masa lalu secerah masa depan. Apa setiap masa lalu itu gelap ya? Tanya saja sama mereka yang pernah tersakiti. Kalau aku, Alhamdulillah pernah sih. Itu dulu pas aku masih berbaju sekolah. Sekarang gak mau, kan udah melihat masa depan.

Ini bisa jadi pembenaran tiap orang beda kemampuan. Ada yang bisa mengedit hati sepi kembali ceria. Ada pula yang payah mengedit hati,  jadi sulit movie-on. Buktinya apa, angka perselingkuhan yang jadi konsumsi publik tetap tinggi. Sono baca berita, bukan gosip ya!

Sebenarnya, apa sih yang membuat orang sulit move-on?

Karena orang itu tidak mau saja. Dia tidak mau berikhtiar. Apa enaknya selingkuh di bulan puasa, ketahuan pula, viral lagi. Astagfirullah, dapat apa sih? Herannya, kok mau!

Bulsyit cinta! 

Nafsu atau cinta? Apalagi media sosial memudahkan untuk mereka "perusak" keutuhan rumah-rumah adem, tangganya asri. Aku sih kasihan, kasihan sama sejarah hidupnya. Nama baik keluarga. Anaknya sama suaminya. Terus agamanya, ingat pasti dipertanggungjawabkan di mahkamah-Nya nanti?

Satu lagi, kasihan Pak RT. Sebagai kepala dusun tercoereng dusunnya sehingga jadi gelap. Coba kalau baik, mungkin dusunnya akan tetap harum mewangi seperti kejora di malam nan indah.

Ngomongin dusun, ternyata beda bahasa antara bahasa Sunda Pandeglang dan Indonesia loh. Kalau di kami, dusun itu tidak sopan. Tidak sopan itu dusun. Sedangkan dusun versi KBBI itu serupa desa atau kampung. Jauh banget, ya. 

Jadi ingat pelajaran Pak Ade sewaktu MTS di Karang Tanjung dulu, ya dulu sekali. Pas menerangkan kepala dusun, aku nyeletuk, "Oh, dusun itu Kepala-nya tidak sopan ya." Jawabku jadi tertawaan teman sekelas termasuk Pak Ade. Aslinya aku tahu, cuma iseng aja. Nakal juga ya aku, ya iseng. 

Sebagai lelaki normal yang sering diejek karena belum nikah, padahal mantan sudah selusin lebih (gak tahu juga sih, ya, belum di cek), aku kerap kena godaan untuk saling-kyuh. Aku pengen, dia mau dan iman melarang keras!

"Heh, sadar luh! Mau di ke manakan iman di dada. Di mana hafalan juz amma itu? Di mana arti taat?  Tidakkah malu pada pemilik semesta?" koar di jiwaku. Orasi dia.

"Mumpung lagi ada kesempatan dalam kesempitan, Wa. Iseng amat luh! MM bae. Cantik lagi!"

"Wah, gini nih kalau beragama tanpa guru. Tanpa tulus. Selalau ada pembenaran. Seganteng apa sih kamu dibanding Nabi Muhammad saw. atau Nabi Yusuf?"

Ya diam aku. Dia menertawakan. Tega. Atuh jauh lah aku sama dua nabi tampan itu. Bahkan Aliando Syarief mah, lewat. Itu selebriti terganteng katanya. 

"Makanya, jadi laki benar. Benerin hati sama pikiran. Jaga apa yang harus dijaga. Ngerti kamu?!"

"Iya, Mbah! Matur nuhun."

Setelah itu, gak jadi seling-kyuh. Gak jadi karena dianya juga imajinasi doang. Haha. Intinya gitu, jangan main hati ke hati orang sudah berumah tangga. Jaga jarak. Dekat boleh, gak usah pake sayang. Catat baik!

Kesimpulan dari soal edit ini adalah, siapapun bisa berubah ke arah baik asal mau berubah. Kalau gak mau, keterlaluan. Tidak cukup mau, harus tanggung resiko. 

Kalau kata teori Afred Adler, tidak ada yang namanya trauma masa lalu kalau kamu mau berubah--berusaha memperbaikinya. Jangan percaya polos ke teori Sigmund Freud. Tahu mereka siapa, baca gih di internet.

Sudah ya segini dulu. Aku mau menatap masa depan. Kira-kira, sudahkah namaku masuk nominasi orang berhasil dan sukses dunia-akhirat? Kalau belum, ada kesempatan untuk mengejarnya. Sedikitnya dengan doa. Bismilah, insya Allah. (***)

Pandeglang |  17 April 2023  23.45

Posting Komentar

0 Komentar