Mau Marah, Boleh Kok?


Prilly Latuconsina pernah bertanya ke Ustadz Adi, apakah batal puasa karena marah. Ustadz Adi katakan tidak batal puasa, hanya saja pahalanya berkurang. Sederhana pertanyaan itu, mudah, tapi bobotnya lumayan.

Di luar sana masih banyak sebagain kita yang masih rancu membedakan mana yang membatalkan puasa dan mana yang mengurangi pahala puasa. Bisa saja tidak tahu atau mungkin tahu tapi belum yakin kebenarannya. Seharusnya tahu karena tiap tahun puasa, tapi banyak tokoh agama kita bijak menyikapinya. Tidak ribet men-judge. Ladang dakwah, begitu katanya.

Ngomongin marah, aku termasuk yang gampang tersulut marah. Apalagi kalau harga diri terasa dilecehkan. Aku belum seperti nabi yang lempar batu sampai berdarah di Thaif. 

Lantas bukanya marah dan balik dicaci. Bahkan sampai malaikat penunggu gunung menawarkan untuk membumihanguskan penduduk Thaif.

Nabi sama sekali tak bergeming, justeru mendoakan agar anak-cucu penduduk Thaif mengenal Islam lebih baik. 

Aku pun belum seluas hati Sayidina Ali karramallahu wajhah yang saat berperang dengan musuh agama sampai musuhnya dibuat tak berdaya. Tetapi saat ingin menghabisinya, musuhnya itu meludahi tepat di wajah Ali. 

Sayidina Ali batal membunuhnya bahkan meninggalkannya. Lantas saat ditanya, 'kenapa kamu tidak membunuhku?' Ali menjawab kalau pertama aku membunuhmu karena Allah tetapi saat kamu meludah aku takut marahku bukan karena Allah tapi karena nafsu.

Aku pun belum seluas hati Imam Syafei yang dihina tidak marah. Tidak memojokkan, yang ada bersikap biasa. Saat ditanya muridnya, "Kenapa Imam tidak marah saat dicaci maki?" 

Beliau malah menjawab, "Jangankan aku dihina, Allah saja difitnah oleh Nasrani memiliki anak, tapi Allah tetap baik dan welah asih. Nabi dan Rasul pun sama. Lalu, siapa aku?"

Ya, siapa aku. Bukankah selama ini kita selalu merasa besar. Merasa istimewa. Merasa paling mulia. Seolah dunia akan rugi kehilangan kita. 

Aslinya kita seperti titik hujan dari miliaran titik yang jatuh ke bumi. Menyirami samudera, sehingga dari miliaran itu siapa yang bisa mengklaim paling sempurna.

"Kakak kan cepat emosi, begitupula adek masih proses untuk pula," katamu saat itu. "Kita cepat marah, maka baik-baik menjaga perasaan masing-masing."

Aku ingat kata-kata itu. Kata-kata yang seharusnya membuat aku dan kamu berbenah. Memahami siapa kita. Siapa mereka. Siapa aku dan kamu. Tidak semua marah itu negatif tetapi tidak sedikit hal negatif berasal dari marah. 

Islam memberi ruang untuk umatnya marah. Marah dibolehkan. Hanya saja, marah untuk apa dan karena apa. Kalau karena Allah dan wujud karena Allah, silakan saja. Itu dibenarkan. Misalnya untuk menjaga kehormatan diri. 

Untuk itu, orang kuat itu bukan mereka yang tubuhnya kuat tapi mereka yang mampu mengelola dirinya saat marah. Itu sabda nabi. Tidak mudah memang tapi harus kita coba.

Mari berbenah menjelang lebaran, untuk tidak mudah marah. Walau marah dibolehkan di bulan puasa, tapi tetap saja sering marah hanya nambah masalah. Bukan kah begitu? (***)

Pandeglang | 20 April 2023  14.23

Posting Komentar

0 Komentar