Puasa Kesebelas: Kelas Menulis (Kembali) Bahas Literasi Digital Bersama Kang Heldi HS


Tak ada tampak berbeda, di kejauhan
dinding-dinding kusam bertangkup nafas sejarah
Mengeras dalam memori cuaca dan ingatan ku
__
(Tertuju padamu, 2017)

Langit Pandeglang pucat kehitaman. Ada awan duka menggantung di sana. Waktu sudah berputar di angka 13.00 WIB. Aku masih betah rebahan sambil mengkhatamkan buku Balada Si Roy, yang ini harus aku selesaikan. Aku tidak ingin ke mana-mana. Biar bercumbu rayu dengan buku dan pena.


Tidak boleh kayaknya, tadi malam Kang Agung sudah chat katanya nanti siang ada kelas nulis seperti biasa. Tema tentang Jurnalis Digital oleh Rahmat Heldi HS. Berangkatlah dengan setengah semangat. Tubuhku  memang tidak sedang baik, tapi apa bisa beralasan nanti tak mau belajar?



Kalau sudah begitu, dipaculah si Merah dengan kepala putih itu. Inilah kesemapatan yang belum tentu nanti bisa dirasakan. Belum tentu ada kesempatan kedua. Jangan sia-siakan kesempatan yang ada!

Siang kemarin, Rumah Dunia memang ramai. Kembali hidup dengan lakon literasi. Sekumpulan mahasiswa keguruan--yang didominasi  wanita tengah mengadakan acara mendongeng. Wanita-wanita yang manis, cerah, dan behijab rapi. Mereka seumpama bidadari-bidadari yang entah kesasasar.

Di antara itu mungkin ada bintangnya. Bintang yang meredupkan langit Rumah Dunia. Sayangnya, aku tidak tertarik menatapnya. Aku terlalu takut larut, larut melupakan-Nya. Melupakan kamu. Ya kamu, yang tiap hari selalu menyiram kesunyian dari kesendirian. 

Cie kamu, siapa itu? 

Aku dan teman-teman kelas menulis menunggu di Cafe. Pemateri belum datang menunggu sampai jam 16.00. Tahu gak, hal yang menjengkelkan dalam hidup itu apa? Yaps, menunggu. Kadang menunggu ketidakpastian. Seringkali menimbulkan curiga pun gurita tanya.

Tentu saja aku tidak mau terlarut ke sana. Cukup sudah perjalanan dari Pandeglang-Serang menyita waktu, maka lebih baik diisi dengan hal yang membuat betah dan hidup. Di sanalah kami berdiskusi. Aku, Gio, Agung, Miftah, Nipen, dan Fajri. Lebih tepatnya dengan Kang Nipen.

Kami membayangkan kalau aktivitas sastra dan keilmuwan di Banten ini lebih ramai seperti di Yogya, mungkin lain ceritanya. Kadang heran juga, seperti yang dikatakan Kang Nipen, kenapa penyair kita juga Sastrawan kita kurang harum macam di daerah lain.  

Di kita itu, kalau mau besar harus pergi dulu ke luar. Setelah besar baru ke kampung halaman seperti Mas Gong. Lihat yang lain! Kalau harus jujur kualitas literasi dan karya kita bagus, tapi bingung juga. Atau jangan-jangan di kita pejabatanya belum punya humor  yang baik, maka dunia seni budaya dan sastra kering perhatian. Dana-dana apalagi.


Sedang saya berkelakar, mungkin sinarnya sudah kalah oleh Syaikh Nawawi Tanara. Siapa yang melawan sinar itu maka akan redup sendiri. Begitu mitos yang tersebar di teman-teman santri. Kang Nipen cuma senyum. Kita memang harus senyum kalau ujung-ujung ke politik. Simalakama. 

Saat adzan berkumandang; aku, Fazri dan Gio bergegas ke Masjid. Tidak jauh dari sana. Terkadang, kalau tengah kelas berlangsung, adzan berbunyi kelas pun berhenti sejenak. Aku sering memperhatikan kawan Mahasiswa Keguruan itu, melihat seolah menelanjangi. Gak tahu juga, apa aku terlalu baper ya!

Acara dimulai pukul 4 sore. Tampilan Kang Rahmat Heldi macam Ustadz mau tablig aja; peci putih dengan surban melekat. Apalagi suaranya yang khas menambahkan kesan kita tengah ikut kajian. 

Aku sendiri mencatat ada 4 hal kalau kita survive di zaman digital ini; pertama, kemampuan membuat video. Kedua, kemampuan editing. Ketiga, kemampuan bahasa asing. Keempat, kemampuan berbicara di tengah publik. Ini modalnya.

Selain itu, jangan lupa rumus jurnalistik  yang sudah familiar 5 W+ 1 H. Kerja jurnalistik akan terus di sana. Hanya bentuknya saja berbeda. Dari sana, kita mendapatkan kemampuan finansial, kalau tahu cara dan ilmunya. Segala sesuatu perlu ilmu, carilah ilmu walau ke negeri Cina. Begitu kata hadits, walaupaun menurut pakar hadits Prof. DR. Musthofa Yakub itu hadits bermasalah.

Kang Heldi pun membanggakan dari Youtubenya sudah mampu menggondol dolar,

"Untuk beli-beli motor ex-ex itu mah bisa, tapi untuk apa. Wong motor punya tiga. Bahkan untuk beli mobil pun, ya bisa saja. Tapi untuk apa, tidak masuk skala prioritas," begitu katanya.

Singkat sih pembahasan beliau. Selain karena terburu-buru juga ingin cepat ke pesantren mau nengok anaknya. Tepat di jam 17.00 itu acara lekas sudah. Kami pulang. Namun beberapa relawan berdiskusi untuk mempersiapkan acara Nyore minggu depan. Aku pamit, meski ada relawan yang ngajak. Belum siap nyelum, rinduku untuk pulang menggebu! Haha.

Oya, aku menyampaikan salam jua pada siapa... milea ya, atau siapa ya, lupa. Dari sesama anak PII Wati. Dia agak kaget sambil senyum, aku pun senyum. Segitu aja. 

"Untuk siapa?" katanya terburu-buru.

Untuk siapa? Sebenarnya aku ingin tertawa mendengarnya, masa untuk siapa. Masa untuk tetanggamu, neng? Haha. Tentu aku tidak katakan itu. Untuk kamu! Dia pergi ke Bojonegara. Cilegon sana. 

Aku pun kembali pinjam buku, yang paling tebal tentang sastra atau bahasa Indonesia. Tebal banget, sekitar 1000 lembar. Yakin apa gak selesai, diusahakan selesai. Buku-buku lain tengah menanti. Ratusan pula. Mungkin begitu, untuk saat ini biar aku mengeja kata-kata di buku saja. Aku belum mampu untuk mengeja namamu di buku kehidupan ku. Nanti saja!

di sepanjang jalan royal sore ini
kemacetan berpayung keresahan
bunyi klakson menegur jalanan
yang sesak dan hingar bingar 
oleh lagu dangdut 
dan suara anak-anak remaja
___
(Abdul Salam H S)

Puisi itu begitu terasa. Itu puisi Kang Salam, Presiden Rumah Dunia, yang diambil di bukunya Tertuju Padamu. Aku pulang kemagriban. Menyaksikan kesibukan orang-orang. Kemacetan. Jalan bolong. Pedagang musiman. Selaksa senyuman santriwati. Teringat kamu. Ingat taraweh. Ingat, apa yang aku banggakan saat nanti ditanya di sisi-Nya?

Semua berbaur jadi satu. Semoga apa yang kamu dapat sekarang bisa menjadi tangga untuk menaikan apa yang kamu harap dan cita-cita. Semangat berjuang! (***)

Pandeglang,  3 April 2023  17.53

Posting Komentar

0 Komentar