![]() |
Foto: Obrolan Mas Gong dan Istrinya tentang Kisah Cinta. (Sumber: GolAGong TV) |
Saya baru menonton true story kisah cinta Mas Gol A Gong dan isteri di channel Youtube-nya. Kisah cinta yang sebagian saya tahu di sumber lain dan kali ini langsung dari tokohnya. Keduanya didekatkan lewat karya dan kesukaan pada dunia kata, gayung bersambut, cinta pun menyatu.
Bagaimana cinta yang terpisah jarak teruji. Selain itu, ambisi Mas Gong untuk traveling dunia yang membutuhkan dua tahun tidak mudah. Tanpa kabar. Tanpa cerita. Tanpa kepastian status hubungan keduanya, apa dan seperti apa. Kita bisa tahu betapa kerinduan yang menggelora, istilah Bunda Tias ke Mas Gong.
"Terus, bagaimana cara Mama "menyikapi" kerinduan itu?"
"Dengan menulis puisi," ujar Bunda Tias dengan senyum.
Dari sini kita bisa melihat, cinta selain butuh perjuangan juga butuh komitmen pengikat. Rindu tanpa kepastian lebih melelahkan daripada ditinggal menikah mantan. Kenapa? Kalau mantan menikah itu jelas bukan jodoh kita dan yakin sebagai orang sehat kita gak bakal berharap lagi, masa iya berharap sama istri orang?
Berbeda kebersamaan tanpa status jelas, ada resah dan lautan tanya, pada siapa harus diungkapkan? Yaps, media itu puisi. Tetapi untuk siapa itu? Untuk mereka yang mau. Mau mengungkapkan perasaan tanpa risi dengan ejekan. Bahasa puisi adalah hati. Saat hati bicara, siapa yang mampu mencegah?
Di balik itu, punya resiko. Resiko dicintai dan mencintai di antaranya rindu yang menggelora. Bahkan, ada penelitian menyebutkan orang yang terlalu bahagia dan sedih lupa akan makan. Cinta yang merasuk kerapkali membuat kita lupa aturan makan. Ini baru skala kecil, apalagi dalam skala lebih luas. Misalnya, lupa karakter kita sebelumnya.
Itulah kenapa dalam Islam Nabi katakan, "Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal." Artinya, nafas agama yang menentramkan dan memberi kesejukan pada sejagat alam tidak akan punya efek terkecuali pada mereka yang pandai menggunakan akal. Akal ini di antara komponen penentu kualitas kita.
Selain itu, agama juga butuh penghayatan. Media penghayatan inilah hati pun perasaan. Jiwa fitri lahir dari akal yang bersih dan hati murni. Itu tidak mudah, harus ada proses-proses melaluinya. Riyadah (latihan-latihan jiwa) konsisten dilakukan. Contohnya, puasa. menjaga pandangan dan tahan dari rasa marah. Imam Ghazali memaparkan dengan baik di Ihya Ulumuddin-nya.
Di sinialh kita akan merasakan luapan cinta. Cinta yang memberi dan berusaha menerima resikonya. Ini harus bersandar pada rasio. Sebab, mecintai tanpa mau mengambil resiko seperti memakan cabai tanpa ingin pedasnya. itulah kenapa banyak para orang sholeh pun sholehah terjaga malamnya.
Alasannya, karena ada kerinduan di dada yang menggelora. Rindu itu butuh pelampiasan, maka sujud dan doa wujudnya. Siapa yang abai terhadap "sujud", sejatintya orang yang belum paham alasan kenapa dia dicipta di alam mayapada ini.
Hakikat Islam adalah pasrah pada ketentuan Allah. Berprasangka baik pada takdir-Nya. Semua itu proses menuju insan yang sempurna. Tingkat di mana ceria dalam beragama. Kalau istilah Gus Baha, "Kalau ada orang bilang salat harus khusyu, jangan percaya. Salatlah sesuai kemampuan kita, karena Allah melihat seperti apa adanya hamba-Nya."
Kesimpulannya, cinta butuh logika. Logika pun begitu, ada saat di mana logika akan lesu tanpa rasa. Begitulah Islam, hadir untuk kita mampu menerjemahkan pesan cintanya dengan akal yang sehat dan hati yang putih. Kalau tanpa itu, maka kebutaan atas nama cinta jadi pembenaran. Wallahu'alam. (***)
Pandeglang, 31 Juli 2023. 22.45
NB : sebagian kata-kata penjabaran penulis sendiri. Salam Santun untuk Mas Gong dan keluarga.
0 Komentar
Menyapa Penulis