Orasi Literasi Kemarin

Pamflet Orasi literasi Kemarin. (Sumber pribadi)

Sudah pertemuan ke tujuh orasi literasi di Rumah Dunia aku belum juga bisa hadir. Biasanya dilangsungkan malam, kini digeser siang, tetap saja aku belum bisa hadir. Sedih sih, rindu sih, kangen sih, dan terpacu untuk terus belajar. Bagiku ini kesempatan untuk terus memburu ilmu mumpung ada kesempatan.

Tak apa. Hidup itu proses untuk kita mencicipi hidangan Tuhan. Kita tak harus mencaci tapi harus memilih. Mana yang kiranya pantas untuk kita atau mana yang mungkin jadi bumerang saja. Kita punya akal, itu yang Allah anugerah kan. Takdir memang rahasia-Nya, tetapi kita bisa melakukan ikhtiar yang kadang selaras dengan takdir itu. 

Sejujurnya malu kepada teman-teman juga mentor yang baik hati sudah membuka kami untuk mendapatkan pengetahuan secara free. Mau gimana, keadaan kadang buatku jadi bingung. Bingung setiap mau "keluar rumah" kudu ribut aja sama Emak. Emak selalu punya alasan untuk "melarang" dan cukup buatku serasa tertekan. Aku anak, tugas anak adalah mendengarkan dan tidak boleh membantah.

Seperti tadi sore, sedianya aku berangkat dan hadir di Rumah Dunia. Qodarullah, rencana tinggal rencana saja kenyataanya berbeda. Lagi-lagi saat Emak punya alasan untuk anaknya tidak ke mana-mana, aku hanya bisa melihat langit-langit rumah. Ya, menatap semua mimpi-mimpi yang tergantung cantik di sana, di lauhul mahfudz. 

Kadang aku berpikir pula, di Rumah Dunia apa yang bisa aku raih? Toh di sana kadang keadaannya tidak selalu seperti dibayangkan, ada cela-cela yang buatku kurang sreg. Bagaimanapun jarak dari Pandeglang-Serang tidak dekat. Butuh tenaga, dana dan waktu yang harus aku alokasikan. Waktu yang seharusnya aku bagi untuk meramu karya dan mengumpulkan data-datanya.

Kembali lagi, semua perjuangan butuh pengorbanan. Kalau toh, aku tidak ke sana pula menikmati proses untuk mahir berbicara di depan publik, ya sudah. Seperti kata Emak, mungkin cita-cita untuk mandiri dengan usaha perbukuan juga perkopian disertai tongkrongan sudah seharusnya menjadi perhatian.

Jadi ceritanya aku ditanya oleh Emak, kira-kira prospek untuk ke depan apa? Lebih rencananya apa? Kalau sesudah kelas menulis di RD mau apa? Apa berkarir sesuai minat itu? Terus terkait bisnis kecil-kecilan keluraga apa ingin "dibesarkan" apa justeru betah jalan apa adanya.

Aku menjawab dengan optimis, memilih berakarir di daerah kota Pandeglang. Aku ingin membuka toko buku ragam genre, di desain dengan warung kopi ala seniman gitu. Biar di sana menjadi tempat nongkrong banyak kalangan.

Tempatnya pun tidak harus mewah, yang penting nyaman siapa saja duduk di sana. Aku sediakan olahan kopi lokal. Mungkin ada jasa pengetikan. Aku leluasa menulis dan berkarir, tidak harus omzetnya luar biasa, sudah mencukupi kehidupan sehari-hari sehingga ikut pula meringankan beban orang lain sudah cukup. 

Aku pun selalu ingat wasiat kakek, "Ari urang mah, boga pangabisa jeng kabutuhan urang. Tapi, ari aya nu datang menta diajaran, atuh ajaran bae. Ulah ken loba, hiji oge, ajaran bae." Maksudnya tuh, kalau kita mah punya kemampuan (baca Al-Quran) buat kebutuhan sendiri. Namun, kalau memang ada orang yang ingin diajari, ya ajari walau satu orang pun.

Pesan itu sering aku pikirkan dan renungkan. Betapa berat menjadi kepanjangan perjuangan apalagi itu hal sakral dalam agama. Mengajari bacaan Al-Quran harus jelas. Jelas sanadnya dan jelas metodenya. Dua hal ini yang kadang buatku galau sendiri, siapa aku diantara jutaan mereka yang matang dalam ulumul qur'an juga seperangkat keilmuannya?

Sampai di sini, aku boleh kecewa dengan sikap Emak tetapi tak boleh sedikitpun mengggores luka di hatinya. Biarlah hari ini aku nikmati semuanya. Telan apa yang pahit lagi manis, ini mungkin jalan takdir yang mereka pahami dan aku belum jua.

Tak apa. Hidup itu proses untuk kita mencicipi hidangan Tuhan. Kita tak harus mencaci tapi harus memilih. Mana yang kiranya pantas untuk kita atau mana yang mungkin jadi bumerang saja. Kita punya akal, itu yang Allah anugerah kan. Takdir memang rahasia-Nya, tetapi kita bisa melakukan ikhtiar yang kadang selaras dengan takdir itu. Wallahu'alam. (***)

Pandeglang, 2 Juni 2023.  20.31

Posting Komentar

0 Komentar