Tanggapan Saya Terkait Baper Tulisan Syiah-Wahabi di Grup

Potret Mut'ah dan Misyar yang saya ambil di grup. (Sumber: tangkapan di grup WhatsApp)

Tadi ada anggota grup di mana saya aktif di sana, ya begitulah share tulisan soal perilaku nikah mut'ah di Indonesia. Dan ternyata, di Wahabi pun ada katanya sejenis itu. Namanya Misyar. Dibahas di sana, bla-bla. Jujur, saya baru tahu istilah ini. Ada yang menanggapi, dan mudeng saya arahnya ke mana.

Ada mungkin dua yang komentar dan saya yang kemudian ikut komentar, "Apa di grup ini dibolehkan untuk debat?" Beberapa menit lamanya ada komentar balik, ada yang bilang baper ada pula yang bilang kembali pada "aurod", saya sungguh tersenyum. 

Ini apa maksudnya?

Tak lama ada yang menyanggah, dan boleh. Ya, heran saya. Dulu ada yang "sempat melarang" karena grup jelas berbagi kebaikan saja. Padahal, dulu debat gara-gara ada yang posting tidak pakai jilbab. Diingatkan malah ngeyel. Tapi tunggu, ada yang bilang baper? Pengen ketawa saya, baper dalam artian apa?

Setahu saya, makna dari baper itu ada 2 : versi Rhenaldy baper itu bawa perubahan sedangkan versi umum adalah bawa perasaan. Cuma bawa perasaan juga ada dua konteks, negatif atau positif?

Selamanya agama tidak akan lepas oleh akal dan perasaan. Akal untuk berpikir karena sabta Nabi "tidak ada agama bagi mereka yang tak berakal". Akal ini yang buat kita berbeda dengan binatang dan buat muslim punya peradaban. Akal melahirkan dialetika, lantas apa bisa beradab tanpa akal? Dan amalan tanpa dasar akal juga dalil apa boleh?

Soal perasaan bagi saya juga penting. Unsur beragama juga perlu penghayatan. Itu menggunakan hati. Perasaan di antara pangkalnya. Kita berzikir tanpa penghayatan, apakah sampai pada pemahaman hakiki?

Sampai di sini jelas ya? Baper itu boleh asal baper seperti apa dan karena apa. Ini loh konteksnya. Bukan diarahkan pada gejala politik praktis.

Lantas soal isi share itu, pertama dari orang iseng, kedua bagus untuk buat kita berani mikir. Kita akan lebih tahu agama kita, apa itu mut'ah dan bagaimana Ulama membahas itu? Masalahnya, mau tidak kita menggalinya. Tidak cuma katanya saja. Harus kritis juga.

Soal Syiah dan Wahabi itu sampai sekarang masih jadi pembicaraan. Tetapi kalau kita baca dari berbagai sumber, jelas dikatakan bahwa keduanya adalah ideologi dua negara yang kaya. Kekayaan itu jadi modal untuk impor paham di beberapa di kampus dunia, di antaranya Indonesia. Di kalangan aktvis Islam ini sudah menjadi rahasia umum.

Jangankan kita, sekelas Buya Hamka saja pernah ditawari untuk masuk syiah saat berkunjung ke Iran pasca Revolusi Islam. Kita tahu, apa jawaban Buya Hamka, tegas menolak. Soal Wahabi, tak sedikit tokoh agama negeri belajar ke sana, ada yang terpengaruh ada pula sebaliknya kukuh dengan prinsip yang sudah ditanamkan para ulama sepuh yang hanif.

Artinya apa?

Wahabi dan syiah itu ada. Ada yang ekstrem, ada pula yang moderat. Jelasnya sih, awalnya karena politik. Betapa perpecahan Islam dari dulu karena politik, maka kalau ada narasi soal ini kita harus cerdas. Tidak lemah akal tetapi meng-counter dengan akhlak yang mulia. Misalnya, seperti Ibnu Abbas yang mendebat dedengkot Khwarij sehingga tak sedikit yang kembali masuk Islam.

Ini fakta yang bisa kita baca dan telaah, ada datanya. Bukan mengajak teman-teman untuk anti-politik, tetapi lebih hati-hati dengan narasi politis. Bisa dibaca misalnya di Api Sejarah dan buku sejarah yang lainnya. Ini kerja otak sekaligus pemikiran. Tetapi di sini, kita harus punya akhlak. Akhlak baik hadir karena proses mengelola perasaan dari pemahaman agama yang benar. 

Kesimpualnnya adalah perang pemikiran sedang terjadi. Tidak hanya dari luar Islam, banyak dari dalam Islam sendiri demi kepentingan semu. Kalau istilah Guru Gembul karena Islam dibajak oleh tokoh tertentu untuk syahwat belaka. Siapa mereka, silakan cari di buku atau penjelasan kredibel di bidangnya. Wallahu'alam. (***)

Pandeglang, 9 Agustus 2023   22.02

Posting Komentar

0 Komentar