Merasakan 'Pemberontakan' Pram di Diri Saya

Suara Pemberontak Pram Masih Terus Relevan. (Sumber; internet) 

Saya sedang membaca buku Pramoedya Ananta Toer Dari Dekat Sekali, ditulis adiknya sendiri. Tinggal beberapa halaman lagi akan rampung saya baca. Buku yang menulis sisi Pram yang lebih intim, karena kita tahu keseharian juga seperti apa corak pemikirannya lahir dari mana.

Trilogi novel Bumi Manusia sampai sekarang masih menjadi pembicaraan banyak kalangan. Buku yang sering menjadi menu wajib lahap anak-anak kiri. Perlu saya jelaskan di sini, "kiri" tidak selalu "PKI atau komunis", tetapi lebih kepada mereka yang melawan kezaliman yang ada, terlihat, dan sangat nyata. Walau harus diakui, tak sedikit orang PKI berangkat dari pemikiran kiri.

Kiri di sini berarti perlawanan. Kepalan tangan kiri itu simbolnya. Itulah kenapa, Pram memang dari dulu orang yang kritis dan berani berbeda dalam bersikap. Meskipun begitu, dia punya rasa takut pula. Misalanya, saat harus bertempur melawan tentara Belanda atau berantem dengan teman sesama tentara. Ternyata, Pram pernah jadi tentara hanya sampai pangkat letnan. 

Terlepas dari itu, Indoensia patut bersyukur memiliki putera terbaiknya yang selangkah lagi dapat Nobel, namun nampaknya takdir berkata lain.

Dari apa yang saya pahami dari karakter Pram itu, ada sedikit kesamaan yang saya rasa. Jiwa yang ingin selalu merdeka dan berusaha mengungkapkan itu meskipun resiko untuk mencapai itu tidak main-main. Ya, setiap ingin "merdeka jiwanya" tapi tak sedikit hanya mampu berangan-angan saja. Tentu, ada beda kualitasnya juga.

Selama ini saya berusaha membangun pikiran yang jernih, membebaskan untuk jiwa agar lebih nyaman. Akhir-akhir ini, ada sebagian jiwa saya yang hilang, itu soal bagaimana melihat fenomena sosial. Itu semangat bersikap dan melakukan aktivitas yang saya target di bulan-bulan lalu kok banyak yang terbengkalai.

Pram dekat dengan buku. Saya pun berusahaku adalah teman saya. Menulis adalah kebutuhan saya. Saya merasa nyaman dengan kesendirian saya meski dicap asosial oleh sementara orang, yang entah dasar pastinya apa. Padahal dari sana saya menghirup udara segar.

Misalnya saat Pram di aktivitas pagi, kata adiknya ingin istirahat, di mana istirahat kalau di rumahnya pindah dari satu buku ke buku lain. Saya sungguh merasa begitu, lari dari satu buku ke buku lain. Walau pun, ya sekedar baca buku, kalau pemahaman terkait bacaan itu ya masya Allah. Hihi.

Sebagai muslim yang baik, saya pikir, kita harus Iqro. Iqro tidak sekedar membaca dalam artian formal. Iqro itu proses melihat dunia dan rahasia penciptaan-Nya dengan seksama. Orang yang rajin baca sejatinya itulah orang yang mengamalkan perintah Allah di surat pertama turun itu.

Ada pun soal bacaan, tidak selalu ke "wujud mushaf" apalagi tilawah saja, ada perangkat lain yang harus Kita sempurnakan. Selain ilmu nahwu sorof, ada juga wawasan ilmu pengetahuan. Itu yang dapat buat kita lebih bijak melihat sesuatu.

Untuk itu, saya berusaha mengejar apa yang dulu saya rasakan saya nyaman dan merdeka. Dari Pram saya memahami, menulis itu proses keabadian. Begitu katanya. (**)

Pandeglang, 9 Agustus 2023.  15.10

Posting Komentar

0 Komentar