Umma adalah Emak

Ini adalah calon umma, di hati siapa, yang merasa. (Sumber pribadi)

Setelah bangun tidur tadi, aku melihat Emak tengah menyapu di depan rumah. Emak terlihat begitu cantik meski usianya menjelang senja, masih lihai dan ceria. Emak yang gesit dan tidak pantang menyerah. Meski pun 8 buah hati telah menguras emosi, waktu dan tenaga nya. Emak tetap terjaga, baginya hidup itu perjuangan!

Emak memang bukan Umma, karena lebih melekat di jiwa. Seseorang yang tidak lelah menjaga, menyayangi dan menasehati. Walau anaknya suka nakal, ada yang menggores hatinya dan berulangkali membuat jengkel. Tapi Emak adalah sebuah keajaiban, bagi kami anaknya yang ... peka.

Entah kenapa aku ingin menulis tentang Emak, ya sempat aku utarakan pada wanita manis nun jauh di sana ingin menuliskan Umma (ia memang lebih suka memanggil Umma daripada Emak), kenapa katanya. Aku jawab, pengen saja.

Sejauh ini aku belajar banyak dari Emak, bukan aku meminggirkan jasa bapak. Keduanya adalah hal terindah bagiku. Hanya saja kata pakar jiwa, anak laki-laki secara mental akan lebih dekat ke ibunya sedangkan anak wanita akan dekat ke bapaknya. Ketertarikan seperti ini sinyal normal.

Mungkin kalau kata santri mah isyarah, untuk nanti kenormalan laki-laki adalah ke wanita. Al-Qur'an menyebut hubbuhs syawat minan nisa, artinya adalah orang tua yang baik itulah mereka yang bisa memahami karakter anaknya.

Kalau anak lelaki secara gen lebih dekat ke ibunya bukan berarti seorang bapak lepas tangan memperhatikan, teori ini barangkali lebih mengajak agar bisa membaca gejala pertumbuhan anak.

Laki-laki yang baik adalah dia yang bisa memahami perasaan wanita dan mengayomi dengan segala apa yang dia mampu. Wanita mungkin terlihat kuat tetap saja di balik "rasa kuat" itu ada tangis pedih dan perjuangan. Siapa yang tahu? Mereka yang dekat ibunya dan peka dengan jiwanya.

Untuk itu, wanita di hatiku adalah tentang Emak. Tentang sikap, perhatian, dan bagaimana kasihnya. Sering Emak bilang gini,

 "Jangan sakiti hati wanita. Cintai wanita seperti adanya. Apalagi ia isterimu, beri ia ruang untuk nyaman dan di dengarkan keluhnya". Itu katanya yang kerap terulang.

Aku tahu, tak sedikit hati wanita singgah di hidupku. Lepas dari itu, bagiku sudah berlalu. Fokus sekarang ialah memantaskan diri. Memantapkan lahir batin dan finansial. Terlebih adalah restunya Emak.

"Emak gak mau," Kata Emak, "anak Emak menikah di saat finansial lemah. Tunggu dulu, tong buru-buru, ada saatnya bersama. Emak gak mau anak menderita, begitu mantu Emak. Biarkan mapan agar jiwa Emak plong melepas kalian," tegasnya. Sering sekali diulanginya.

Kalau kebetulan jalan sama Emak dan aku ketemu teman, biasanya mereka bertanya, "Sudah menikah kah? Sudah berapa anaknya? Orang mana?" Ada tarikan nafas berat di sana, aku melihatnya tidak tegas. Ya, dia Emak. Aku tahu inginku, tahu pula inginnya Emak.

Dan aku berpikir, inginnya Emak yang harus aku dengar. Bagiku hidup adalah proses. Ketika yang lain lebih dulu menjemput jodohnya, itu takdirnya. Aku pun begitu, ada perputaran nasib nantinya. Laa Takhof walaa tahzan, kata Al-Quran, jangan takut dan sedih. 

Apa dengan begitu aku menjaga jarak dengan wanita?

Emak tahu anaknya dan soal cinta adalah fitrah, Emak tidak melarang. Hanya saja harus tahu diri dan bisa mengatur waktu. 

Hampir delapan bulan ini aku terikat rasa dengan seseorang di sana. Jarak yang jauh dan kerinduan menggebu-gebu, di saat yang sama keadaan kadang memaksa untuk di rumah, di situlah ujian.

"Umma yang utama sayang, adek mencintaimu. Apapun yang terjadi kita hadapi resikonya," katanya di waktu tertentu.

"Walau, misalnya kita tidak dipersatukan?"

"Kan, kata ayang begitu 'bersama adalah keinginan kita sampai nanti halal di sana. Kalau toh takdir tidak mempersatukan, jangan benci, syukuri itu sebagai pembelajaran', bukankah begitu?"

Tiba-tiba aku tersentak. Entah bahasa apa lagi yang mampu aku ungkapkan wujud dari rasa rindu. Emak bukan Umma, tapi Emak adalah jiwaku dan sepotong hatiku di sana menunggu takdir terbaik. Ya, meunggu sampai semua yang kami perjuangkan menemukan muaranya.

"Sehat-sehat di sana, temani di sini, di hati ini!" (**)

Pandeglang, 11 September 2023   17.47

Posting Komentar

0 Komentar