Krisis Minat Ke Pondok yang Rendah

Minat remaja kita yang rendah ke pondok, pondok yang mana? (Sumber Pribadi)

Di malam senin, akhir bulan mulud ini aku hadir di kampung sebelah, kampung Pasir Cau. Seperti biasa, selain  pembacaan silsilah ada juga ceramah agama dari Kiai Baros. Ada hal menarik yang aku dapat dari pembahasan tersebut.

Pertama, orang pondok katanya lebih berakhlak daripada anak sekolahan. Kedua, krisis anak mau mondok. Ketiga, pendidikan karakter anak harus dimulai dari orangtuanya sendiri.

Tiga ini menjadi tema seksi untuk kita bedah, karena bagaimanpun ini kenyataan. Di depan yang harus diberi solusi walaupun perlu digarisbawahi pula. Tidak seluruhnya seperti yang digambarkan.

Pertama dikatakan orang pondok lebih berakhlak di banding anak sekolahan, memang begitu adanya. Lebih tepatnya orang yang paham agama dan mengamalkannya lebih punya akhlak dari pada yang tidak memahaminya. Sebabnya kita tahu hampir di kajian kita diajarkan moral yang baik seperti apa, sikap yang benar seperti apa dan terpenting kita diberi tokoh teladan untuk kita jadikan contoh.

Walaupun terkadang dibalik "sikap berakhlak" ada saja oknum menggunakan demi keuntungan pribadi. Akhlak baik itu kedok untuk menutupi kedurjanaan sikap. Untuk apa? Menipu dan membodohi sesamanya.

Makanya ada sementara orang berkata, "sekarang mah harus curiga dengan orang yang baru kita kenal tapi bersikap baik." Aku ingat itu dikatakan oleh ia yang cukup wawasan keilmuannya. Tak lain karena penipuan atas "akhlak baik" membuat orang tak berdaya.

Kedua, krisis anak mau mondok. Lebih banyak dari mereka yang ingin sekolah daripada mondok. Benarkah ini? Bagiku sih, bisa benar bisa salah. 

Benar memang minat remaja dan pemuda agak malas ke pondok. Meski pun di kajian tablig maulid ajakan untuk ke pondok sering dikibarkan. "Santri mah sering dihina pun dianggap sebelah mata, padahal tanpa santri akhir hidup kita siapa yang mengurusi!" sinis salah satu tokoh agama di Pandeglang.

Tetapi harus disadari juga, yang minat rendah ke pondok itu, maaf pondok mana? Bukankah selama ini kita sudah terlanjur mendikotomikan, ada pondok salafiyah dan ada pondok modern. Pondok modern pun ada yang sebagian berhasil menggabungkan metode salafiyah dan modern dan ada pula yang fokus kemodernan.

Kalau minat mondok ke tempat pondok yang disebut modern rendah, tidak benar juga. Buktinya di beberapa tempat mereka eksis. Laa Tansa, El Karima, Al Mizan di antara pondok yang santrinya ribuan. Tebu Ireng, Petir-Serang tengah menggeliat perkembangannya.

Ini masih skala kecil loh, belum kita melihat dinamika pondok di Jatim dan Jateng yang sampai sekarang eksistensinya terus melaju. Alumninya ya alim, ya tersebar di berbagai bidang. Per tahun berhasil menghimpun ribuan santri pun meluluskannya.

Jadi, krisis mana yang dimaksud? Ke pondok salafiyah atau modern. Walau pun aku kurang setuju dengan dikotomis ini, sebagaimana dikatakan Syaikh Yusuf Al-Qordowi bahwa Islam tidak mengenal pembagian ilmu seperti itu.

Belajar ilmu apapun selama punya maslahat dan tujuannya baik tidak ada masalah. Justeru peradaban Islam maju di masa silam karena ummat terbuka atas ilmu pengetahuan dan ulama-ulama-nya diakui keilmuannya oleh lintas bidang. Mereka alim juga bijak dengan dinamika iptek. Tidak melulu antipati dengan produk modern.

Ketiga katanya pendidikan karakter memang harus dimulai dari orangtuanya. Anak butuh teladan untuk ia ikuti. Orangtua yang ingin anaknya sholeh atau sholehah tak cukup gitu, harus pula menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembangnya.

Itulah kenapa Imam Ibnu Khaldun di kitab mukadimah-nya menjelaskan pendidikan Islam perlu diterapkan sejak dini. Sebelum anak tahu ilmu umum maka wajib ia harus tahu ilmu agama dan perangkatnya.

Apa itu cukup? Tidak juga. Ia harus mampu punya usaha keras dan mencari guru yang tepat. Artinya, membicarakan karakter pendidikan sama juga berlaku menyangkut semua komponen terkecil sampai teratas nanti. Itulah kebijakan pemerintah dalam hal ini.

Oleh karena itu, di masa sekarang seyogyanya kita lebih bijak melihat sesuatu. Tidak lagi terus memperdebatkan modernisasi dan Islam, tetapi fokus kita bagaimana generasi muda Islam melek dengan ihwal modern dan tidak kehilangan jati dirinya sebagai Muslim yang baik. Setujukah pembaca? (***)

Pandeglang, 17 Oktober 2023   17.50

Posting Komentar

0 Komentar