Laki-Laki Pun Manusia, Bisa Menangis Pula

Seusai kelas menulis di Rumah Dunia, saya melihat wanita menangis tak jauh dengan saya. Dia teman satu angkatan, kekasihnya pun sama. Dia menangis histeris sampai kekasihnya bingung sendiri. Saya melihatnya, antara ingin tertawa dan tersentuh. Ah, mungkin begitu kalau saya ribut dengan si Manis lantas menangis bombat. Hiks!

Saya baru bisa pulang ba'da magrib, selain karena hujan juga ada teman wanita yang kebetulan satu arah dengan saya belum pulang. Atas saran senior di Rumah Dunia, katanya pulang sama saya saja. Lagian dekat alun-alun rumahnya.

Tiba-tiba saya mati kutu. Mau menolak takut disangka sombong, mau mengiyakan juga pasti ada yang cemburu. Sebelumnya saya sudah membuat perjanjian macam kontrak politik dengan si Manis nun jauh di sana, untuk saling terbuka dan transparan soal apa saja yang bisa terjadi sengketa. Kami malas kalau harus diselesaikan di mahkamah kehormatan.

Dan terjdilah percikan cemburu itu saat saya kontek meminta surat delegasi agar saya aman membonceng. Jawabnya gini, "Ciye, ciye yang malam mingguan berdua boncengan." Tak hanya itu, kecemburuan makin membesar dengan penyudutan-penyudutan yang agak sarkas, "dia bukan mahrim sayang!"

Eh, emang selama ini kita sudah mahram, ya. Eh, engga jadi disampaikan. Bisa-bisa makin berkobar kemarahannya. Saya sayang dengannya, dan saya menerima saja ia mengomel. Sepanjang jalan itu pikiran saya ke paras manis di sana, walaupun di saat yang sama saya juga kasihan teman wanita itu pulang sendirian turun-naik angkutan umum.

"Enak ya, sepanjang jalan ngobrol-ngobrol. Ngobrol apa saja," kejarnya kepo. Sejujurnya saya ingin ketawa, tapi takut disangka saya bahagia bisa-bisa tambah runyam. Segala argumen dan penjelasannya tidak ada yang diterima. Semuanya salah dan dibuat-buat.

Padahal motif saya hanya membantu dan kasihan saja. Melihat wanita pulang sendiri saya membayangkan adik saya pulang begitu. Lagi berbeda perasaan wanita, di mata kita biasa mungkin di hatinya timbul curiga, "Ada uduk di balik gorengan ini!"

Malam itu kami ribut. Besoknya masih pula. Tapi komunikasi masih jalan. Ini lah yang saya suka darinya, walau pun ribut tapi mau mendengarkan dan tukar pikiran. Tidak kabur tanpa kabar apa-apa. Ia beda, itulah kenapa saya betah. Betah sampai kebelet ketemu orangnya. Satu tahun LDR cuma melepasa rindu di hape, itu pun kalau hapenya hidup. Kalau tidak, ya rindu sih. Hihi.

Siangnya, video call-an. Di momen agak sentimentil itu tidak terasa saya menangis. Ya, enggak sampai histeris sih cuma agak mendung dengan sedikit mata berkaca-kaca. Dan ia tahu saya menangis, lalu responnya adalah saya disuruh jangan menangis. Katanya, hatinya sakit!

Lah, saya bingung. Menangis kok dilarang, apa saya kena UU ITE?  Masa iya, wong menangis juga bukan prank, bukan pula ingin dapat jabatan, bukan pula pura-pura. Murni karena saya sayang dan rasanya berat kehilangan ia di sana. Ia misuh dan debatlah lagi kami. Cuma, gara-gara saya menangis! Arrrgh.

Saya berpikir, apa salah laki-laki menangis. Kalau menangisi isteri oraang mungkin iya, bisa-bisa kena damprat suaminya. Pebinor dong! Hiiih, gak yah. Gini-gini aku masih punya kehormatan dan punya kesucian, yau. Kok melantur gini, ya.

Dilansir dari laman www.yoursay. id sebagaimana peneliti dari dari Clark University dan Boston mengungkapkan perasaannya laki-laki menangis merupakan hal yang sangat wajar. Sebab, menangis adalah luapan emosi yang sehat bagi siapa saja.

Menurut penelitian Journal  Psychology of Men & Masculinity yang mempelajari mental dan menangis pada sekelompok pemain bola, menunjukkan bahwa pemain yang menjiwai permainannya sampai keluar air mata, diketahui memiliki self esteem atau pengharagaan lebih tinggi daripada pemain yang menahan ekspresi. Karena bahaya menahan tangis bisa menekan resiko terkena hipertensi (darah naik) dan stres.

Intinya, (1) laki-laki bisa pula menangis. Kok bisa? Bisa lah, kan manusia biasa punya rasa dan cinta, punya akal dan hati nurani. Bukan batu yang lahir dari batu pula. (2) Wanita mudah cemburu. Saya pikir itu normal, wanita memang sensitif soal perasaan. Dengarkan saja omelannya sampai ia lelah sendiri, atau jauhi sementara kalau kamu tidak mau debat kusir.

(3). Tandanya ia memang sayang padamu. Iya lah, mana ada orang tidak cemburu kekasihnya jalan sampai wanita lain, terkecuali tukang ojek. Walau ia gak setuju, katanya beda urusan. Urusan apa coba, wong sama-sama laki-laki. Eh, ia makin misuh.

(4). Konflik itu untuk diselesaikan bukan untuk sama-sama lari. Berdasarkan fakta yang saya tahu, hampir 90% hubungan hancur karena konflik. Terus tak ada komunikasi. Terus merasa benar sendiri. Terus ambil keputusan insatan, cerai! Pas sudah dingin hatinya kaduhung sendiri. Mau gimana, terigu sudah menjadi bakwan maka habiskan saja.

(5). Tangisan yang karena Allah bisa mengantarkan pada surga. Artinya, menagis itu tidak selalu buruk selama kita punya alasan dan tempat. Tidak serta merta menangis tanpa batas. Karena sebaik-baiknya tangisan adalah saat seseorang menangis lantas berujar, "inni akhofullah rabbal'alamin." Sebagaimana ungkap Nabi Yusuf di ayat al-Qur'an.

Sebagai akhir bahasan, saya hanya bilang, cintai tanpa konflik itu seperti bakso tanpa kuah. Enak tapi kurang segar! Wallahu'alam. (***)

*Foto: pixabay. Com

Pandeglang, 29 Desember 2023    23.52

Posting Komentar

0 Komentar