Guru Ngaji

Aktivitas malam saya seusai magrib duduk dan menemani anak-anak hebat. (Dokumentasi Pribadi)

Seminggu di hari bapak pergi, pengajian rutin yang aku ampu dipindahkan   ke rumahku-- rumah Emak, biasanya  di rumah nenek. Berat memang keputusan ini. Tetapi tetap dijalankan. Pertama, wasiat bapak yang sering diulang-ulang ke Umma, kedua kondisi mental Emak yang kurang begitu stabil ditinggal bapak. Singkatnya, aku tak ingin buat Emak cemas.

Aku katakan berat, ya gimana. Karena dari semenjak lulus di Aliyah aku sudah di sana menemani anak-anak belajar baca Al-Quran dan ilmu dasar keislaman. Waktu yang penuh cerita dan kenangan. Lagi-lagi harus pindah. Tiba-tiba harus pindah markas.

Alasan bapak sederhana, bangunan rumah nenek yang tidak layak. Kalau hujan sering bocoh. Genting banyak yang pecah. Keadaan atap yang agak bengkok karena pengaruh usia. Kadang kalau sedang mengajar ada reruntuhan jatuh. Bapak takut ada jatuh menimpa kepala yang ngaji.

Iya, ke anaknya, kalau ke anak orang, siapa yang mau tanggungjawab?

Ikhtiar dan usaha sempat aku lakukan sih, disampaikan pada anak tertua nenekku tapi upaya serius hanya sebatas kata-kata. Lagi soal kesibukan juga  dana. Yaps, dari mana guru ngaji punya uang? Uang yang ada hanya ala kadar, itu pun kalau ada yang berbesar hati memberi, kalau tak ada ya harus ikhlas menjalani.

Untuk itu, pindah ke rumah Emak. Aku sendiri tak masalah mau mengajar di mana. Sebagai guru ngaji, ya aku guru ngaji, yang penting ada tempat dan orang yang sama-sama mau belajar. Hayuk saja. Kebahagiaan terbesar guru itu melihat anak didiknya mampu memahami apa yang diajarkan. Hal yang amat sedih adalah gagal mendidik anak didiknya paham apa yang diajarkan. Bukan soal materi dan tempat mentereng aja.

Jujur saja, sekarang mengajar anak-anak huruf juga bacaan yang benar itu sulit. Ada banyak faktor, (1) Tak sedikit orang tua sekarang agak kurang peduli anak-anaknya bisa atau paham pada bacaan Al-Quran. Sebagai contoh kepedulian untuk memiliki satu orang punya satu mushaf saja lumayan repot.

Mushaf sebagai alat utama saja tak punya. Kadang satu mushaf atau buku iqro berebut memiliki. Heran juga, harga tak seberapa kok sulit benar orangtua peka dengan hal begini. Dulu mah, rasanya anak punya satu mushaf itu biasa, gak harus minta orangtua paham sendiri.

Orang tua sekarang kadang 100% menyerahkan pendidikan ke gurunya. Di rumah tak didampingi juga diajarkan mengulang pelajaran. Anak fokus main atau pegang gadget. Siang malam. Sedang materi pelajaran pula. (2) Secara logika anak sekarang itu pintar tapi soal akhlak, ya Allah sulitnya minta ampun.

Kadang ada saat di mana sebagai guru dibuat jengkel. Iya gimana gak jengkel, udah bicara pakai oktaf 100 alias tinggi benar masih pula fokus bercanda. Di depan mata, loh, di depan mata. Heran saya, apa sulitnya bercanda pas sudah di luar rumah?

Lebih dari itu aku menikmati lakon sebagai guru ngaji. Ada kepuasaan sendiri melihat mereka bisa baca al Qur'an. Gak peduli kata orang soalnya, atau riwayat belajarnya.

Emak sering ngambek ke saya, "Ges lah, ulah ngajaran barudak. Ker naon! Te boga akhalk tein ke Emak. Padahal anak-anakna diajaran ku saha? Boroning mere, bahasa hade geh hente,"sahutnya.

Pernah kejadian emang, di depan Emak ada ibu dari anak yang emang pintar bilang gini, 

"Lah, anak saya mah udah pintar dari sananya. Gak usah diajari pun pintar," begitu katanya. 

Saya tahu itu anak pintar tapi lisan ibunya sungguh buat saya agak sakit. Katakan dia gak suka sama saya, ya sudah. Gak mengganggap saya jadi "guru anaknya" pula, ya gak apa. Sedikitnya menghormati. Tidak harus soal uang minimal saling menghargai

Dan sampai sat ini tatapan dan sikap itu nyaris tak berubah. Kadang heran saya, ada ya yang begini? Salahnya saya ini apa? Orang mengajari anak-anak melek ilmu agama. Tidak minta gaji, kirim proposa mana bisa. Apa yang salah jadinya?

Pandeglang, 25 Februari 2024   00.57

Posting Komentar

0 Komentar