Setelah Bapak Pergi, Pun Ua Menyusul

Potret prosesi pemakaman tadi siang. (Diambil dari foto postingan adik bapak)

Pertanyaan itu yang kerap kali menggelayut di pikiranku. Sesekali bapak dimimpi mengisyaratkan akan ada yang mengikutinya. Tapi siapa? Itu yang buatku kadang cemas, takut dan berpikir abstrak.

Dan mungkin jawabannya tadi pagi, saat baru terjaga dari lelah malam. Santai menyeruput segelas susu coklat dengan cemilan ala nonton bioskop, melihat berita terkini. 

Dan, ada banyak panggilan tak terjawab di WA. Perasaanku sudah gak enak. Langsung cek grup keluarga, di sana tertera jelas pengumuman bahwa kakak dari almarhum bapak juga almarhum. Ya, pun ua, begitu kami orang sunda menyebutnya.

Rasanya cepat sekali waktu berputar. Bapak baru 53 hari pergi dan sekarang disusul lagi. Apa yang Allah kehendaki telah terjadi, yang menjadi renungan, apa hikmah di balik ini wahai jiwa? Aku tidak tahu.

Baca Juga : Surat Untuk Bapak


Aku bangunkan Emak yang terlelap tidur setelah minum obat, ga tega sebenarnya tapi ya mau gimana. Reaksi pasti kaget, sore padahal jadwal Emak cek-up juga ke dokter. Aku memberitahu apa yang harus diberitahu. Membalas chat yang masuk, mengkonfirmasi akan hadir di sana.

Setelah duhur sampai di sana dan jenazah sudah di Masjid. Aku berinisiatif dengan adikku untuk ke rumah duka dulu, bertemu keluarga yang ditinggalkan. Duduk sebentar, salaman, dan ngobrol-ngobrol ala kadar mendengarkan bagaimana wafatnya pun ua.

Setelah ke Masjid. Bertemu keluarga besar yang hadir, ikut menyalatkan. Sebelum prosesi salat jenazah mendengarkan cerita "si kakak", anak dari almarhum. Detik-detik terakhir menjelang wafat, yang prosesnya cepat. Dan saya menimpalinya tak jauh dengan bapak.

Ya, ajal cepat menemui siapa yang memang harus dimangsanya. Di takbir pertama sampai akhir aku hanya mengharapkan tiap untaian doa dan dzikir dari yang hadir mengalir ke sana sebagai kucuran rahmat. Mau menangis nampaknya dosa di jiwa terlalu banyak sehingga menghijab kemurnian iman di hati.

"Di kuburnya di kompek sini a," kata si kaka saat aku tanya mau dikebumikan di mana. "Dekat sih, cuma di sini harus menanjak karena letak kuburan di atas," sahutnya dengan sisa kecerian yang nampak. Jauh di dalam hatinya, aku tahu, ditinggalkan orang tua ialah proses menerima kenyataan yang berat.

Prosesi pemakaman lumayan dramatis karena hujan mengguyur di saat tengah memupuk tanah. Meski pun demikian, para warga sigap dan cekatan menimbun tanah. Ustaz muda yang memimpin doa dan talqin pun tak bergeming melanjutkan prosesnya. Aku di sana bersamanya, ikut membaca yasin, doa dan menjadi saksi talqin.

Kami berkeliling menjaga agar Pak Ustad tidak terguyur hujan. Melihat kekompakan warga itu, aku hanya merasakan ini enaknya hidup di kampung saat semua dilakukan sukarela. Praktek di sana, tak jauh di kampungku, penggalian kuburan lebih kepada panggilan hati. Walau pun dari keluarga pastinya, memberikan "tanda terima kasih" ala kadar nantinya.

Kalau kata Nabi, telah aku tinggalkan dua nasihat yang berbicara dan tidak berbicara. Nasihat bicara itu al-Qur'an dan yang diam itu, kematian. Di komplek pemakaman banyak nisan yang bertuliskan nama, tersimpan pesan; kalau mereka duluan, esok mungkin kita.

Masalahnya adalah, siapkah kita?

Banyak dari kita ingin ke surga tapi tak mau tahapan ke surga itu sendiri. Apa itu? Mati. Tak akan ke surga orang yang tidak mati terkecuali makhluk tertentu yang Allah beri keistimewaan. Setiap kematian itu nasihat untuk kita, untuk lebih peka kepada iman, amal sholeh dan kejernihan hati.

"Orang yang paling keras hatinya itulah mereka yang melihat jenazah di masukkan ke liang lahad masih bisa tertawa," begitu kata guru saat menjabarkan kajian kitab mingguan. 

Kalau kita berkaca pada kalam ulama di kitab-kitab mu'tabar soal kematian ini pasti hati kita akan lebih takut, takut azal tak kenal usia, tempat dan tanggal. Takut itu jadi medium kita merenung hakikat hidup untuk apa dan ke mana. Apa hidup hanya sekedar hidup atau justeru ada hikmah di baliknya.

Ya Allah, semoga almarhum diterima iman islamnya dan ditempatkan di tempat yang mulia di sisi-Nya. Semua keluarga yang ditinggalkan senantiasa tabah, kuat dan diberi kemurahan rejekinya.

"Bagaimana kehidupan si mayit di dunianya apakah baik," kata Imam di akhir doa salat jenazah.

"Baik, baik, baik," pungkas jamaah. Saya hanya diam merenung: gih taubat! (***)

Pandeglang, 3 Maret 2024 | 00.18

Posting Komentar

0 Komentar