Tak Usah Debat Kapan Puasa

 Ilustrasi diambil dari internet 


Ramadan tak lama lagi menyapa, tinggal menghitung hari menuju bulan suci itu. Sejauh ini ada dua suara berbeda yang saya dengar, ada yang puasa di hari senin-- itu keputusan resmi jam'iyah Muhammadiyah dan ada pula yang hari selasa. Sebagaimana terjadwal di kalender hijriah di aplikasi NU online, prediksi hari selasa. Walau pun biasanya nanti Jam'iyah NU harus melihat ketinggian hilal.

Ini yang menjadikan sering berbedanya puasa jam'iyah Muhammadiyah dan NU. NU untuk urusan ini menggunakan hisab dan penentunya adalah ru'yatul hilal sedangkan Muhammadiyah cukup menggunakan hisab saja. Pemerintah dalam hal ini juga mengikuti metode NU, menunggu pemantau hilal di ufuk langit sana.

Lantas, mana yang paling baik harus kita pilih? Bagi saya, pilih yang membuat kita aman dan nyaman. Aman dengan tidak bentrok sama kebanyakan warga yang kita tinggali. Nyaman karena hati kita condong ke sana. Dengan begitu resiko untuk konflik sedikit.

Saya sering ditanya, Muhammadiyah itu apa sih. Apakah mereka muslim juga? Lalu kenapa berbeda dengan kita serta pertanyaan lain yang terdengar pedas, mungkin efek ketidaktahuan. Saya jawab semampu yang saya tahu, dan kebetulan pernah membaca tulisan orang-orang muhamadiyah juga pernah sih ketemu sama kadernya.

Singkatnya, Muhamadiyah itu muslim seperti kita. Memang ada hal yang berbeda tapi cuma sebatas furu'iyah atau cabang agama. Misalnya soal jumlah raka'at taraweh di kita rata-rata 23 raka'at dengan rincian 20 taraweh dan 3 raka'at witir. Sedangkan saudara kita dari Muhammadiyah 8 raka'at dan 3 witir. Dan lain-lain, silahkan cari di sumber terdekat.

Terlepas dari itu, kita sama-sama muslim satu rukun Islam yang sama dan satu rukun iman yang sama pula. Perbedaan yang ada harus membuat kita lebih arif lagi bukan terus memelihara api dalam sekam. Apa lagi memberi stigmatisasi negatif hanya karena berbeda hari puasa. Toh, sama-sama puasa.

Perlu dan wajib kita pikirkan adalah mereka yang tidak mau berpuasa. Sudah jelas Muslim, tidak punya uzur syara' pula. Tidak mempersoalkan hari puasa mau kapan saja. Terserah. Bahkan, kurang peduli dengan hadirnya bulan suci. Baginya ya itu, mencari isi kantong lebih penuh dan perut kenyang lebih penting dari semuanya.

Oleh karena itu, menjelang puasa tidak lama lagi, semoga kita ada umur, tidak memfokuskan pada perdebatan dan perbedaan kapan puasa. Tapi, memikirkan seperti apa kualitas puasa kita nantinya. Apa masih sebaik yang kemarin atau justru berkurang nilainya. Monggo di pikirkan. (***)

Pandeglang, 9 Maret 2024. 18.04

Posting Komentar

0 Komentar