Keberlanjutan IBP Kemarin di Alun-alun Pandeglang

dokpri 

Sepulang dari IBP kemarin, di perjalanan saya melihat ibu muda yang berjalan tengah menjajakan dagangannya. Ibu muda yang menitipkan keripik pisang dari warung ke warung lagi. Dengan berjalan kaki. Sendiri menyisir dari gang ke gang, dari jalan ke jalan.

Mungkin, ada yang membeli atau banyak yang menolak juga. Melihat ibu itu, aku ingat Emak. Emak dulu juga pernah ada di posisi itu. Menjajakan keripik dari warung satu ke warung yang lain. Ada yang mau membeli. Ada yang menolak mentah-mentah.

Ada yang bermuka manis semanis madu. Ada yang ditekuk penuh durja. Ada yang penuh teka-teki yang ujungnya menolak. Macam-macam pokoknya. Cuma bedanya, kalau Emak aku yang mengantar sedangkan si ibu muda itu berjalan kaki. Mungkin bisa berkilo-kilo meter demi habis barang terjual. 

Melihat itu, jiwaku merasa gerimis. Betapa perjuangannya tidak mudah. Hal ini relevan sekali dengan obrolan kami di IBP tadi. Aku membahas cerpen karya Kang Niduparas penulis dari Serang, terkait potret cukup memilukan ustaz kampung.

Cerpen itu menceritakan Mang Dulah seorang tokoh masyarakat. Pernah nyantri sembilan tahun di salah satu pondok salafi. Sehari-hari beliau memperbanyak salat sunah dan wajib. Memperbanyak putaran tasbil di tangan.  

Hal yang agak lucu. Mang Dulah sering kena omel isterinya, bunyinya begini, " Mun aya nu nadar, mu modar karak bisa dahar, " artinya kalau ada yang nadar, ada yang mati baru bisa makan. Tentu saja kata-kata itu satire kepada Mang Dulah karena pemasukan terbesar dari sana.

Melihat ibu muda itu aku ingat Mang Dulah karena memang suaminya juga seorang ustaz. Apa yang bisa dilakukan dengan ekonomi pas-pasan, di saat yang sama kebutuhan menumpuk. Ia rela berkeliling sedangkan suaminya mungkin hanya di rumah saja, menunggu hasil isterinya. Entahlah gimana, bingung mau komentar apa.

Tapi pertemuan kemarin ada Kang Gunadi dari Mandalawangi. Beliau membawa novel Untuk Hati yang Tak Bisa Luka karya Fata Nashore. Yang cukup buat kami terkejut adalah penulisnya orang Pandeglang dan salah satu senior Kang Gunadi di HMI. Bagi saya, ini waw!

dokpri.

Jujur saja, saya selalu senang tiap ada rekan satu kota ada yang sudah menelurkan karya. Karya itu bagian dari ciri produktifitas warganya aktif. Satu lagi, simbol kemajuan sebuah negeri itu adakah kualitas literasinya tinggi. Tentu saja, kesadaran gak lahir dengan sendirinya tanpa upaya yang konsisten.

Pertemuan IBP kemarin membuat saya memahami satu hal, konsisten itu tak mudah. Apalagi membaca sambil mendengarkan hingar-bingarnya musik dari lembaga antikorupsi di pancaniti saja. Antara harus menutup telinga dan fokus, betapa menggerakan literasi itu tak mudah di tengah dinamika pergeseran nilai ini.

Kalau gerakan ini terasa stagnan dan jalan di tempat, saya pikir ini tantangannya. Kita tak usah mencari kambing hitam atau mempersoalkan kebijakan pemerintah yang kurang bersahabat dengan gerakan literasi. Pangkalnya adalah kita saja belum punya karya untuk dilihat. Karya itu biasanya yang punya "daya jual" untuk di lihat kalangan birokasi. 

Ngomongin gerakan di era ini, rasanya hambar tanpa fanatisme. Idealnya gerakan adalah kesatuan pikiran untuk berjalan bersama-sama. Tidak ada yang merasa paling capek atau lelah, akan tetapi berangkat dari gagasan.

Letaknya di sini, kalau hanya setengah hati maka hasilnya ya cinta bertepuk sebelah tangan. Tangan yang lain mungkin hanya bilang say good bay! (**)

Pandeglang, 2 September 2024  21.06

Posting Komentar

2 Komentar

Menyapa Penulis